Suara yang Belum Terucapkan

11 1 1
                                    

***

     Deretan kursi berjajar rapi di aula kecil itu, berhadapan langsung dengan panggung rendah yang sederhana. Di atas panggung, sorot lampu menerangi sosoknya. Suara berbisik dan lirikan diam-diam sesekali terdengar dari kursi penonton, tetapi semuanya segera terdiam ketika ia mengambil tempat di tengah.

   Tangannya dan kakinya sedikit gemetar. Ini adalah pertama kalinya  Niskala membaca puisi di depan umum, apalagi di kompetisi seperti ini. Niskal menarik napas dalam-dalam, mengingat setiap bait yang sudah berhari-hari ditulis dengan hati-hati. Kata-kata itu terasa dekat di hatinya, seperti suara-suara kecil yang akhirnya ia biarkan melambung.

   "rindu di sore hari" Niskal memuai, sedikit ragu seakan kata-katanya terselip di antara lidah.

senin soreku tak lagi ada senja ia tergantikan hujan,
aku tak bisa berkeriaran bebas diluar,
bukan karna takut akan air hujan,
karna aku tak ingin demam setelahnya.

seperti rindu yang menggebu,
bukan tak ingin di utarakan,
tapi tak ingin rasa sakit setelahnya.
 
  Setiap bait keluar dari bibirnya. Tetapi tanpa intonasi dan emosi yang kuat, tanta nyala yang meresap hingga ke hati pendengarnya. setelah selesai bait terakhir puisinya, niskala menundukan kepala. Menunggu detak detik-detik tepukan tangan atau sekedar senyum persetujuan, tak kunjung didapatkan, hanya keheningan yang amat sunyi. meski terdengar tepukan kecil yang bahkan nyaris tak terdengar.

Perlahan, seorang wanita bangkit di antara deretan bangku di hadapannya. Seorang juri, tersenyum tipis padanya. Mengambil mikrofon, mulai berbicara dengan lembutnya untuk menilai.

"puisimu indah," katanya dengan suara teduh.
"kata-katamu punya daya tarik, ada kejujuran yang murni dalam setiap barisnya. Aku bisa merasakan hatimu disana." wanita itu berhenti sejenak, menghela nafas.

"tapi.. ada sesuatu yang hilang_bukan pada puisinya, melainkan pada cara penyampaiannya. mungkin kamu harus menemukan lebih dalam makna dibalik setiap kata-kata yang kamu tulis. agar di setiap kamu menyampaikannya,itu bisa terdengar nyata. Bahkan terlihat memiliki jiwa.

niskala sedikit lega mendengar komentar juri itu. meski tetap ada perasaan berat bergelayut di hatinya. Namun, lelegaan itu tak bertahan lama. Seorang pria di sisi lain deretan meja di hadapannya, berdehem agak keras, menarik perhatian.

"aku paham maksud kolegaku." peria itu menyela dengan nada sarkas terdengar kasar. "Dan aku setuju beberapa hal yang disampaikannya." terlipat tangan diatas dada, tatapannya tajam dengan alis yang sedikit terangkat. "Begini, anak muda, puisi bukan hanya kumpulan kata-kata yang disusun dengan indah. Bait-bait tadi_cukup bagus. Mungkin, bisa dibilang dangat bagus hanya untuk kata-kata yang telah kamu tulis. Tapi.. datar, cara penyampaianmu seperti membaca resep makanan tanpa merasakan aroma masakannya.

Beberapa orang terligat tersenyum kecil. Meski dengan suasana tengang kala itu, peria itu melanjutkan, agak sedigit serius nampaknya, nada bicaranya tinggi. "Kalau kau ingin menjadi penyair sejati, pelajarilah seluruhnya, bukan hanya pada kata-katanya saja. Tapi jiwa dan makna dibaliknya. Rasakan setiap kata yang kau tulis, jadikan itu bagian dari dirimu." nada bicaranya agak menurun. "Sampai saat itu, saat kau bisa merasakan jiwa di antara kata yang kau tulis. Mungkin untuk sementara sebaiknya kau menahan diri untuk tampil di depan publik."

  Niskala merasa wajahnya memanas, meski terus menundukan kepala, sambil mendengarkan. Kata-kata dari peria itu terdengar sedikit menyakitkan. namun, terdapat kebenaran dalam setiap kalimat yang di sampaikannya. Dari sebuah fakta sebagai tantangan, niskala tak bisa mengabaikan begitu saja. hatinya bercampur adauk berkecamuk, membawa satu dorongan kuat dalam dirinya, hasrat untuk membuktikan bahwa dirinya bisa lebih dari sekedar kata-kata.

Isyarat yang terungkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang