mengasingkan diri

5 2 1
                                    

  Hari-hari telah berlalu, sejak ia mengikuti kompetisi puisi kala itu. Namanya NISKALA, ia sering disebut kala, anak remaja berusia 18 tahun, umur segini sudah agak tidak pantas disebut remaja. Kala belum lama lulus dari masa sekolah SMAnya. Kala sangat terobsesi akan seni puisi, gemar menuangkan kata-kata indah menjadi rangkaian bait puisi semasa masih menjadi siswa di sekolahnya. Bahkan setelah luluspun kala masih suka menulis puisi, kala mencoba mengikuti berbagai kegiatan yang berkaitan dengan menulis atau puisi.

  Beberapa bulah, kala bergabung dengan komunitas puisi yang ada ditempat tinggalnya. kali pertama kala mengikuti kompetisi untuk membaca puisi, namun naasnya pengalaman pertamanya tidak terlalu bagus, dan mendapatkan komentar yang lumayan menyakitkan hati.

  Hari-hari telah berlalu. Namun kritik dari juri masih terngiang di benaknya, seperti gema yang tak kunjung padam. Meski ia berusaha keras untuk menulis, setiap kata terasa hampa, seolah tidak bisa mewakili perasaan yang sebenarnya. kala tahu bahwa jiwanya butuh waktu untuk menemukan kembali dirinya dan makna sesungguhnya dari puisi.

  Suatu malam, setelah seharian terkurung dalam pikirannya, ia duduk di tepi jendela. Pandangannya menembus kegelapan kota yang kelam. Di luar, hiruk-pikuk suara kendaraan dan keramaian mengalir seperti arus yang tak pernah berhenti. Dalam keramaian itu, ia merasa lebih kesepian daripada sebelumnya. Dalam benaknya terbayang sebuah tempat jauh, dikelilingi oleh alam, di mana ia bisa mendengar suara hatinya tanpa gangguan.

  Malamnya begitu kelam, dihantui rasa gelisah, seakan kata yang ingin dituangkan dalam bait-bait puisi enggan keluar dari kepalanya. Malam yang tak kunjung lelap, kala kepikiran untuk menjauh, mengasingkan diri dari keramayan kota, tempat tinggalnya. "itung-itung sambil nyari kerja." pikirnya malam itu.

Keesokan harinya. kala menceritakan keinginannya untuk merantau mencari inspirasi dan kerja, kepada orang tuanya. Setelah sekian banyak debat. kala mendapatkan izin untuk merantau ke tempat yang entah dimana. mungkin bisa disebut keluar rumah untuk berkelana untuk mencari makna.

  Sore hari setelah menerima izin dari orang tuannya, kala mulai mengemas barang-barangnya: beberapa buku puisi, buku catatan kosong, dan pensil. Dia memilih untuk meninggalkan rutinitas kehidupannya, menuju suatu tempat yang pernah ia kunjungi, dalam kegiatan sekolahnya dulu. Tempatnya jauh diujung salatan, dipinggir pantai. Tempat yang membiarkannya bersemedi dengan pikirannya sendiri dan menemukan inspirasi dari alam sekitar, dan kini kala ingin kembali kesana.

  Kala beranjak keluar dari rumahnya larut malam. "untuk malam ini aku menginap di terminal bus saja" ucapnya kepada orang tua sebelum kala pergi. bus berangkat kala sang surya menampakan dirinya pada luasnya samudra, langit yang berwarna jingga menambah keindahan, seakan semesta merestui kepergiannya.

  Setelah menempuh perjalanan yang panjang, bus yang ia naiki berhenti untuk pengisian bahan bakar, sembari istirahat. kala duduk di pinggir jalan Suasana sunyi menyambutnya. Pepohonan menjulang tinggi, angin berbisik lembut, dan di hadapannya terbentang danau yang teramat sangat luas. suara air danau yang tenang mengalun menenangkan jiwa. Ia merasa seperti menemukan kembali bagian dari dirinya yang hilang.

  Dalam lamunan. Kala melihat sepasang orang tua dari kejauhan, bergandeng tangan seakat tak ada lagi yang dapat memisahkannya, kecuali kematian. ia bergumam "begitu indahnya jika jatuh cinta pada orang yang rela menopang dan menuntunnya kepada kesetiaan".

Waktu istrirahatpun telah usai. Kala kembali duduk dikursi dekat jendela bagian belakang bus itu. sebuah pena terjepit jari telunjuk dan jempolnya, mengetuk-ngetuk buku catatan yang kosong.

Terdengar celetukan dari samping tempat duduknya "dari tadi kamu mikirin apa sih?".

Kala pun sedikit kaget "nggak, aku cuman lagi mikirin kata-kata mempunyai jiwa". kala melirik kesamping, seorang gadis, terkalung di lehernya sebuah kamera.

"kamu seorang penulis ya?". ucap gadis itu sembari mengintip buku yang dipegang kala.

"bukan, aku hanya hobi membuat puisi"

"ohhh.. tapi kenapa dari tadi cuman ngetuk-ngetuk buku, liat tuh bukunya sampai tercurat-coret".

soktak kala melihat bukunya, sedikit kaget campur malu "ahh iya, soalnya aku bingung, seakan kata-kata hilang dari kepalaku".

gadis itu tersenyum "namaku Amara eira, suka di panggil mara, aku hobi mengabadikan momen dalam berbagai kebetulan alam semesat ini".

"Aku kala, ehhh.. namaku niskala, salam kenal".

"jangan malu-malu, jangan menyia-nyiakan takdir yang telah ditetapkan semeta kepada kita. mungkin ini sebagai pertemuan dari dua orang seniman, meski beda seni yang di minati sihh." sambil ketawa

kala tersenyum mendengar perkataan mara "maaf, aku jarang berbicara dengan orang asing soalnya. namun, tadi kamu bilang suka mengabadikan momon dari berbagai kebetulan semesta?."

sontak mara pun menjelaskan dengan sedikit serius "menurutku, semua seniman selalu mengabadikan momen dalam kehidupannya. momen yang tak akan pernah bisa terulang lagi. aku suka mengabadikan setiap momen, meski kebanyakan momen orang lain yang aku abadikan."

tak sempat kala menjawab.

mara langsung menunjukan foto yang diambilnya ketika bus yang dinaikinya mengisi bahan bakar, terlihat dua sepasang orang tua. "seperti kedua orang ini, mungkin hal seperti ini tidak akam mereka alami lagi satu atau dua tahun lagi, mungkinn ya itu juga." sedikit tertawa.

kala memotong pembicaraan mara "ini orang tua yang tadi aku liat ketika duduk di tepi danau."

"ohh kamu juga melihatnya? aku sengaja mengabadikan momen ini, meski dilihat hanya dari selembar foto namun gambar ini begitu memiliki jiwa ketika melihatnya, apa kamu merasakannya juga?".

dijawabnya dengan kagum "ya.. aku merasakan akan jiwa, seakan gambar itu hidup dalam benakku." seketika kala memiliki inspirasi dari gambar itu "aku mendapatkan inspirasi untuk membuat puisi dari pasangan orang tua itu."

mara terheran, sedikit kaget ketika kala langsung menulis sebuah puisi di buku yang dipegangnya sedari tadi. "akhirnya buku itu teroake juga."

"apa yang kamu tuliskan?" mara bertanya pada kala yang sibuk menyusun kata-kata.

tak lama kala memberikan secarcik kertas pada mara "nih, coba baca puisi yang ku buat barusan."

mara pun mengambil kertas itu dan membacanya.
"hingga sampai rambut ini memutih,
telingan ini hingga sampai tak mendengar,
dan mata ini tak lagi melihat indahmu,
sampai itu pula ku mencintaimu.

memang perpisahan itu nyata,
selagi tangan ini ku genggam,
meski genggamanku tak lagi kuat,
namun ku janji taakan pernah ku lepas.

bahkan hingga raga ini tak bernapas,
sampai itu pula kau jadi milikku.

setelah membacanya ia terkagum dengan puisi yang kala buat barusan "wihh.. kerenn, puisi yang kamu buat seperti memiliki jiwa akan dua orang yang menjalin janji sampai maut memisahkan, apa boleh puisi ini aku simpan?."

"iya, silahkan jika memang kamu suka dengan puisi ku." sambik tersenyum malu karna pujian yang ia terima.

bus pun berhenti. supir bus memberi tahu kepada sebagian penumpang yang turun di halte ini.

"mungkin pertemuan kita singkat namun sangat bermakna, jika semesta mengijinkan kita bertemu lagi aku sangat menantikannya. aku duluan ya." ucap mara sembari membereskan barang-barangnya, bergegas untuk turun.

"ya, aku pun menantikan peremuan selanjutnya, selamat jalan amara." ucap kala sembari membantu mara turun dari bus.

perjalanan kala masih panjang, butuh dua sampai tiga jam perjalanan untuk sampai pada tujuannya. kala terlelap beberapa menit setelah bus melanjutkan perjalanan.

Isyarat yang terungkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang