Jennie terbangun dengan kepala yang serasa tengah dipalu. Nyeri, linu, sakit. Ia tahu alasannya segera berkat aroma busuk dari mulutnya ketika napasnya berembus. Namun, setengah bibirnya tiba-tiba tersungging. Perempuan itu mengulum senyum. Jemarinya yang semula memegangi kening lantas turun ke leher. Sebuah ingatan menciptakan kupu-kupu berterbangan di dalam perut. Ingatan tentang malam erotis yang terjadi beberapa jam lalu, di mana ada bibir yang terus merayap di atas kulitnya dan meninggalkan cap di mana-mana.
Memutuskan membuka mata dan menoleh ke belakang tempat seseorang harusnya ia temukan, senyuman Jennie makin lebar. Sembari mengulurkan jemari tangan untuk membelai rambut sehitam jelaga yang berantakan pun lepek itu, ia bertanya pada diri sendiri. Sudah berapa lama ia tidak bertemu dengan pria berotot yang tengah tertidur dengan wajah serupa bayi ini?
Lengan itu menjadi amat kekar. Ia menato lengannya juga yang mana menutupi hampir keseluruhan kulit tangan kanannya yang keras. Meski Jennie tidak menyukai pria dengan penampilan semacam itu, setidaknya ada satu yang tidak berubah meski tiga tahun telah berlalu.
Perasaan mereka.
"Jangan menatapku seperti itu. Malu."
Jennie membelalakkan mata kala objek pengamatannya itu bersuara dan mulai menaruh lengan besarnya menutup kedua mata. Bertingkah layaknya balita yang tengah digoda. Jennie tak bisa menahan tawa. Apa-apaan ini? Selera humor pria ini pun tidak berubah?
"Kau sudah bangun, jadi aku mau pulang," kata Jennie sembari menyibak selimut bermaksud untuk beranjak ke kamar mandi. Menolak untuk meladeni.
Namun, belum juga ia turun sebuah tangan besar dan kuat menahannya sehingga Jennie kembali menoleh dan dapati pria yang semalam menggagahinya sambil mendesah heboh itu sudah duduk dan kini menatap marah.
"Mau ke mana?" tanyanya seolah tidak pernah dengar apa yang Jennie katakan sebelumnya.
"Pulang," jawab Jennie konsisten.
"Mengapa harus pulang? Habiskan waktu lebih lama denganku," protes pria itu seraya mendekat dan mulai memeluk Jennie dengan dada telanjangnya. Sekali lagi mengendus leher jenjang itu. Sekali lagi memberi ciuman yang kali ini tidak ditanggapi. "Mau belanja setelah ini?" Ia memberi tawaran menggiurkan bagi kebanyakan wanita. Hanya saja, sepertinya rayuan itu tak mempan pada perempuan ini.
"Tidak," tolak Jennie tanpa pikir panjang.
"Kenapa?" tanya pemuda itu kaget.
"Kita bukan pasangan, Jeon Jungkook. Jangan bersikap posesif."
Ditampar dengan fakta itu membuat sang pria kembali memeluk erat tubuh mungil itu seolah tak peduli. Mereka memang bukan pasangan, tetapi Jungkook meyakini satu hal, bahwa perasaannya masih bersambut. Seks hebat semalam menjadi bukti. Meski ia sedikit curang karena membungkus perempuan ini saat mabuk, lihat saja pagi ini Jennie tidak marah sama sekali ketika temukan dirinya telanjang di ranjang yang sama dengannya.
"Kalau begitu mari kita mulai dari awal lagi, Jane. Ayo pacaran sekali lagi," kata pria itu. "Aku masih mencintaimu," imbuhnya sembari mencium pelipis.
"Aku akan menikah," papar Jennie pahit.
Pada kenyataannya mereka hanyalah dua orang yang sedang berahi dan dipertemukan di waktu yang tidak tepat. Malam tadi seandainya mereka tak bersua, Jennie mungkin akan melakukan seks dengan orang lain juga.
"Baru akan. Belum menikah."
Jennie meremas rambut Jungkook dengan pandangan menerawang jauh. Hati kecilnya hampir terhasut. Mencampakkan iblis kecil ini sekali lagi nampaknya bukan perkara yang mudah.
***
"Aigoo ... pria itu sepertinya sudah gila," dumal Jennie begitu ia bersiap untuk agenda hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBIGUOUS
Fanfiction(Update tiap Sabtu-Minggu) Mempersiapkan pernikahan nyaris membuatmu gila, tapi kau malah memiliki pacar dan calon suami di saat bersamaan. -TreeLiu