02.

75 11 5
                                    

Hai!
Kembali lagi dengan itz_alyana.
Gengsi02_Langkah kecil _
Maaf yang tadi kepencet.
Ini yang betul.

-----

Raden berjalan menuju area parkiran, tempat Pak Wiramantri biasanya menunggu. Dari kejauhan, ia bisa melihat Prabu yang duduk di sekitar mobil bersama sopirnya dan bapak-bapak yang biasa menjemput anaknya. Mereka tampak akrab, tertawa dan bercanda. Orang aneh_ pikir Raden.

Setibanya Raden, Pak Wiramantri segera berdiri tegap dengan tangan ngapurancang. "Raden, Prabu, kuy masuk. Sudah waktunya pulang." Kadang Wiramantri merasa seperti sedang mengawal pangeran dan rajanya sendiri. Nama mereka begitu klop-Prabu dan Raden. Mungkin ini memang takdir Tuhan yang indah mempertemukan saudara unik ini.

"Siap, Pak," jawab Prabu. Sementara Raden diam tanpa mengucapkan sepatah kata pun, terlihat jelas kalau suasana hatinya sedang tidak baik.

Namun, apapun sikap Raden, Prabu menerimanya dengan lapang dada. Bisa berbicara dan diizinkan ikut serta pun sudah cukup membuatnya bersyukur. Jika hati Raden masih belum sepenuhnya menerima, Prabu akan menunggu dengan kesabaran.

Setelah masuk ke dalam mobil, suasana terasa agak canggung. Prabu duduk di sebelah Raden, sementara Pak Wiramantri mengambil tempat di depan, sesekali melirik ke belakang untuk memastikan keadaan baik-baik saja. Mobil mulai melaju perlahan meninggalkan parkiran sekolah.

Selama beberapa menit, tak ada yang berbicara. Prabu mencoba mengumpulkan keberanian untuk memecah keheningan. Dengan suara lembut, ia berkata, "Sekolahnya seru, ya. Banyak yang ramah juga."

Raden hanya menatap keluar jendela, terlihat enggan merespons. Prabu bisa merasakan bahwa mungkin saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengajaknya bicara lebih jauh. Namun, tekadnya tidak surut.

"Eh, kalau abang ada rekomendasi tempat makan enak di sekitar sini, boleh dong sesekali kita makan bareng," lanjut Prabu dengan nada ceria, berusaha mencairkan suasana.

Raden akhirnya beralih menatapnya, dengan ekspresi datar. "Ngapain situ repot-repot, sih? Stop panggil gue abang, noh si Ridho aja dia udah tua."

Prabu tersenyum kecil, meskipun ia tahu pertanyaan itu tidak bermaksud ramah. "Maaf. Aku cuma pengin lebih dekat, Ra-raden. Kita kan... saudara sekarang. Bukan hal buruk kan kalau kenal lebih akrab?"

Padahal dia sungkan memanggil nama langsung, dipikirannya itu sangat tidak sopan dan kaku. Tapi benar juga, aneh rasanya karena mereka hanya selisih satu tahun.

Raden berdecak pelan, tidak menjawab. Prabu tahu ini bukan respons yang ia harapkan, tetapi setidaknya Raden tidak langsung menolaknya. Dalam hati, Prabu bertekad untuk terus mencoba. Bagi Prabu, Raden adalah sosok yang menarik dan penuh misteri, dan itu membuatnya semakin ingin memahami kakaknya ini.

Pak Wiramantri memperhatikan percakapan singkat itu dari kaca spion dan tersenyum tipis. Ia tahu bahwa proses ini tidak akan mudah, tetapi dalam diam, ia mengagumi ketulusan Prabu. Dia adalah anak yang belum diketahui asal-usulnya, namun memiliki karakter yang sopan dan ramah. Mungkin, seiring waktu, Raden akan melihat kesungguhan adik barunya ini dan hati mereka akan lebih terbuka satu sama lain. Tapi kapan ya pak?

"Situ kalo mau makan, nih nasi kuning. Gue udah enek, jadi buat lo aja." Prabu menatapnya, perlahan senyumannya mengembang.

"Makasih, Raden," katanya dengan nada ceria, sembari menerima satu bungkus mika nasi kuning ala kadarnya dari kantin.

Setibanya di rumah, Raden turun lebih dulu tanpa mengucapkan apapun. Prabu hanya menatap punggung Raden yang semakin menjauh, lalu tersenyum sendiri. Baginya, satu langkah kecil sudah cukup untuk hari ini.

GENGSI (BROTHERSHIP).Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang