03

43 8 1
                                    

Selamat membaca.
— 03. Ketempelan —

----

Keesokan paginya, Raden sudah siap dengan jaket kulitnya, menunggu di depan rumah sambil menendang batu kerikil karena gabut. Beberapa detik kemudian Prabu muncul dengan langkah pelan, membawa tas di punggungnya dan wajah tenang seperti biasa.

Raden menaikan alisnya, ini orang disiplin banget. Seragam sekolahnya yang selalu rapi, tak dipungkiri kalau Raden suka dengan penampilan siswa seperti Prabu. Jarang-jarang laki-laki bisa sedisplin itu, dengan tas ransel biru yang berat. Oh astaga!

Bapake meminta Raden untuk berangkat bersama Prabu, lebih tepatnya memaksa! Karena pak supir Wiramantri izin cuti selama tiga hari karena ada urusan keluarga. Tak tega melihat raut memelas Wiramantri, Raden menyetujuinya. Meskipun supir itu cukup menyebalkan, tetapi Raden menyayanginya. Sedikit.

Raden melirik sekilas. "Cepetan! Gue nggak mau telat. Orang atau bekicot sih lu?" Tanyanya.

"Orang," jawab Prabu sopan sambil mempercepat langkahnya.

Raden naik ke motor dan menghidupkannya, suara knalpot bergemuruh. Ia menepuk jok belakang motor dengan santai. "Ayo, bos besar ngawasin nih!" Dia melirik sang ayah yang membawa parang; astaga ancaman itu ampuh.

Ridho yang memberi saran, sungguh kesesatan luar biasa. Tapi dengan cara itu Raden mau menurutinya, meskipun agak ekstrim ya.

Prabu mengangguk, lalu duduk di belakang Raden dengan hati-hati. Ia menggenggam pinggiran jok motor, agak kaku. "Seriusan? Tuh si bos lagi liatin, kalo lo jatuh gue yang dipotong gaji. Kan gue supirnya disini." sarkas Raden, menyindirnya.

Dengan sedikit ragu, Prabu akhirnya memegang sisi jaket Raden. "Maaf, Raden. Aku nggak terbiasa."

Raden hanya memutar mata. "Iya, jangan minta maaf terus, kaya calon pidana aja." Ia menarik gas, motor melaju dengan kecepatan yang cukup membuat angin menerpa wajah mereka. Raden menikmati perjalanan itu, sementara Prabu berusaha tetap tenang meskipun baginya, berdua bersama Raden adalah simulasi neraka. Sungguh ekstrim.

Sesampainya di sekolah, Raden memarkir motor dengan satu gerakan cekatan dan turun lebih dulu. "Ingat, jangan bikin gue repot," katanya sambil berjalan tanpa menoleh.

Raden melepas helm berwarna kuning itu. Mati-matian Prabu tidak salah fokus karena ekspresi wajah Raden berbanding terbalik dengan ucapannya yang lumayan nyelekit.

Prabu turun perlahan dan menatap punggung kakaknya itu dengan harapan di hatinya. Perkataan barusan membuatnya overthinking, apakah benar dia merepotkan? Dia ingat apa kata mama Menik! Agar tidak pernah merepotkan orang lain, dan kini seseorang mengatakannya terang-terangan.

Di halaman parkir sekolah, Raden berjalan dengan langkah santai, tapi matanya selalu sesekali melirik ke belakang, memastikan Prabu tetap mengikutinya. Saat mereka melewati sekumpulan siswa yang nongkrong di dekat gerbang, beberapa siswa yang Raden kenal melambaikan tangan.

"Eh, Den! Siapa nih?" Seseorang bernama Purusada mendekatinya, siswa yang cukup menganggu keseharian Raden, menatap Prabu dengan rasa penasaran dan remeh.

"Cie ... Pasti hadiah dari mama baru ya?" Dentrawira menyahuti, dua pemuda itu suka sekali mengusik murid-murid lain. Mereka kembar, namun tidak terlalu identik. Masih bisa dibedakan, suka menggunakan nuansa pink yang menurutnya indah.

Pink akan jauh lebih indah jika bergambar Soekarno Hatta.

Bagi Purusada dan Dentrawira, menganggu Raden jauh lebih menghibur daripada murid lain. Sebab pemuda ini memiliki raut jutek yang menyebalkan namun juga pedas kalau membalas, yang cuek jauh lebih menyenangkan untuk diremehkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GENGSI (BROTHERSHIP).Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang