Can I Help You?

6 1 0
                                        

Seorang lelaki berambut pirang mengamati ponsel yang sejak tadi bergetar, di layar tertera panggilan masuk dari seseorang yang kontaknya dinamai dengan "Dad". Ketukan jemarinya pada meja semakin cepat, seiring kebimbangan untuk mengangkat telepon tersebut atau tidak. Getar ponselnya tiba-tiba berhenti, tidak lama kemudian sebuah notifikasi chat masuk. Penasaran, dia membuka chat tersebut.

Dad: Kau tidak berniat mengabaikan ayahmu lagi, kan?

Lelaki itu menghela napas panjang lalu bersandar di kursi sambil terus menatap layar ponsel. Panggilan masuk kembali muncul, dengan ragu dia menggeser ikon berwarna hijau. Helaan napas lega terdengar dari seberang sana saat dia menempelkan ponsel di telinga. "Kupikir kau sengaja mengabaikan teleponku, ternyata tidak. Sepertinya kau bersenang-senang di Malino, ya?"

"Ya ... pemandangan Malino di pagi hari sangat menawan. Apalagi menghirup udara segar di perkebunan teh," jawabnya.

"Wah, sepertinya benar-benar menyenangkan. Hmm ... Steven?"

"Ya?" Lelaki bernama Steven itu mengepalkan tangan, dia tahu apa yang akan dibahas ayahnya. Pembicaraan yang sangat dia hindari.

"Apa kau masih tidak berniat untuk pulang?"

Steven terdiam. Pulang? Kata itu sudah terasa asing untuknya. Sejak insiden yang menimpanya setengah tahun yang lalu, Steven merasa "pulang" jauh lebih menakutkan dari hukuman.

"Steven?" panggil ayahnya karena Steven hanya diam.

"Dad, sepertinya aku akan menetap di sini." Pandangan Steven terlempar ke hamparan kebun teh yang ramai oleh pemanen teh. "Aku ... tidak bisa pulang."

Helaan napas berat terdengar kembali dari sang ayah. "Apa kau tidak merindukan ayahmu ini? Kau juga ingin kehilangan ay—"

"Dad, akan kupikirkan," potong Steven. Takut kelanjutan kata-kata ayahnya hanya akan mengorek luka lama.

Steven segera memutuskan sambungan telepon setelah berkata akan menghubungi ayahnya nanti. Lelaki itu mengembuskan napas kasar, lalu meraup oksigen dengan rakus. Meski begitu, dadanya masih sesak. Padahal hanya satu kata, tetapi efeknya begitu terasa. Ini yang dia hindari jika sang ayah menelepon, lelaki paruh baya itu selalu saja meminta dirinya pulang, padahal sudah tahu dengan jelas alasan Steven memilih untuk menetap di luar kota. Sekali lagi Steven menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan, kemudian memutuskan untuk pergi dari sana.

Di perjalanan, Steven melihat seorang gadis berdiri di tengah trotoar. Dari jarak satu meter, Steven bisa melihat tatapan gadis itu kosong, raut wajahnya menunjukkan kenelangsaan. Ragu, Steven menyapa, "Can I help you?"

Gadis itu sontak terkejut, bola matanya menatap Steven seolah tak percaya. Steven sendiri bingung dengan reaksi gadis itu. "Kau bisa melihatku?"

Steven bengong untuk sesaat. Pertanyaan gadis di hadapannya ini benar-benar konyol. Tentu saja Steven bisa melihatnya, hanya orang buta yang tidak bisa melihat gadis setinggi 155 sentimeter itu.

"Poor her."

"Padahal ganteng, sayang tidak waras."

Steven tersentak mendengar gumaman tersebut. Dia lalu memperhatikan sekeliling, orang-orang yang berada di jalan raya menatapnya dengan kasihan. Lelaki itu cepat menilik gadis di hadapannya, memangnya dia melakukan apa sampai disebut gila? Steven memperhatikan dengan saksama. Dadanya kemudian bergemuruh saat melihat kaki gadis itu tidak menapak tanah.

"Shit!" Steven buru-buru meninggalkan gadis itu, ada hal yang lebih gawat dibanding malu karena dianggap gila. "Sialan, kenapa bisa lihat lagi, sih?"

FrandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang