Masih di dalam kamar itu, diantara keremangan suasana kamar, juga penghangat ruangan yang bekerja maksimal, Nathan perlahan-lahan melepaskan pelukannya dari tubuh Caroline.
Pria itu sedikit kikuk menyandarkan tubuh Caroline ke sandaran tempat tidur. Apa tadi itu, heh? Gerakan refleks apa yang sudah Nathan lakukan pada gadis ini?
Wajah Nathan nampak memerah tomat setelah memeluk erat Caroline. Ia turut menyenderkan punggungnya ke sandaran tempat tidur. Tersengal mengela napas. Seperti baru saja mengejar bola yang dibawa lari lawannya menuju mulut gawang.
Caroline malu-malu melirik wajah pria itu. Wajah Nathan kini terlihat seperti kepiting rebus. Merah merona. Ia berusaha menutupinya dengan menundukkan kepala, namun malah semakin jelas menggambarkan kalau saat ini ia sedang menahan malu karena ulahnya.
“Maaf tadi itu aku refleks memelukmu.” Setelah cukup lama tenggelam dalam suasana serba canggung, Nathan akhirnya angkat bicara memecahkan kelelangan di atas tempat tidur.
Caroline mengulum bibir. Kepalanya semakin jelas menatap ke arah Nathan.
“Aku hanya tidak suka mendengar orang lain berkeluh-kesah. Kadang-kadang yang mereka perlukan hanyalah pelukan hangat, bukan penghakiman atas kesalahan mereka.”
Caroline terenyak mendengar ucapan Nathan. Ia tidak menyangka, pria dingin ini ternyata bisa juga menguntai kata-kata bijak se bagus itu.
“Kau bilang apa tadi, Nathan?”
Nathan menoleh. Setelah dari tadi hanya melirik sekilas saja pada Caroline.
“Kata-katamu tadi sangat bagus. Aku harus mencatatnya sekarang!”
Kening Nathan mengerut tajam melihat Caroline bergegas pergi dari kamarnya. Gadis itu berjalan cepat menuju ruang tamu. Mengambil ponsel di atas meja. Lantas kembali lagi masuk ke kamar Nathan.
“Coba ulangi kata-kata tadi, Nathan.”
Nathan mencebirkan bibir. Diam membisu di senderan tempat tidur.
“Astaga, kau sudah lupa dengan kata-kata tadi, heh? Padahal kata-kata itu sangat bagus untuk Novel ku, tahu.”
Nathan sontak mendorong punggungnya ke depan. “Apa? Novel?”
Caroline mengangguk halus. Di daratkannya bokongnya ke tepian tempat tidur sembari menatap takzim wajah datar itu. “Ya, Novel. Aku sedang menulis Novel.”
Sebelah alis Nathan mengernyit. “Kau seorang penulis?”
Caroline mengangguk cepat.
“Bukan pengusaha seperti Vlin?”
Caroline menghela napas pelan. “Tidak. Aku tidak mau hidup seperti Vlin. Hidupnya terlalu banyak pesaing yang ingin menjatuhkannya. Aku ingin hidup tenang dengan tulisan-tulisanku. Menghasilkan uang dari karyaku.”
“Boleh aku lihat karyamu?”
Caroline menatap datar Nathan. Ada rona kesedihan terpancar di wajahnya saat akan menjawab pertanyaan Nathan. “Sudah tidak ada, Nathan. Semuanya sudah habis terbakar api saat kejadian tadi malam.”
Nathan terenyak. Punggungnya kembali mengendur perlahan ke sandaran kursi.
Caroline beralih memandang tirai transparan di bingkai jendela. Menatap birunya air laut dari balik kaca. “Semuanya tidak ada yang tersisa lagi. Buku-bukuku, laptop, catatan tulisanku. Semuanya sudah habis menjadi abu.” Ia meremas kuat baju oversize yang dipinjamnya dari pria itu. Meninggalkan noda kumal lusuh pada kain yang di genggam erat tangannya.
Nathan memerhatikan ulah gadis itu. Membaca cepat maksud gerakan tubuh Caroline. Gadis ini sedang tertekan. Hatinya begitu kalut. Kejadian tadi malam pasti meninggalkan trauma mendalam bagi Caroline. Tetapi ia berusaha menutupinya. Mungkin karena Caroline tidak ingin terlihat lemah di depan Nathan. Atau tidak ingin membuat khawatir Soolan. Entahlah. Nathan hanya berimajinasi saja dengan praduganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Herschrijven
FanfictionBagi Nathan, Caroline adalah Munchkinnya. Penenang ia dari segala tekanan pekerjaan di klub Swansea City maupun Timnas Indonesia. Pada suatu hari, secara tiba-tiba, Munchkin itu pergi meninggalkannya untuk selamanya. Sang Kotik, Nathan, patah arah...