1. Singkat Mereka

72 13 1
                                    

Catatan: Sekali lagi, cerita ini memiliki trope Cinderella story, dengan alur yang cukup umum. Jadi, bagi kalian yang tidak suka cerita dengan tema si kaya dan si miskin, mohon untuk undur diri sebelum kalian meninggalkan jejak berupa hujatan—This story is not your cup of tea. Namun, jika ada kekeliruan terhadap informasi umum di dalam cerita, saya mempersilakan kalian untuk mengingatkan dan memberi kritik terhadap apa-apa yang keliru, saya cukup terbuka terhadap segala kritik yang membuat cerita saya menjadi lebih baik lagi. (⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍⁠)

Sapaan bernada ramah hampir selalu Gusti Arkana Hadinata dapatkan, ketika pria itu menaiki lantai khusus pasien berstatus VVIP, di sebuah rumah sakit ternama. 

Para staf rumah sakit terutama dokter dan perawat yang bertugas merawat adiknya selalu memasang senyum dan mengangguk singkat, ketika pria berperawakan tinggi tegap itu berpapasan dengan mereka. 

Bukannya tanpa alasan, kenapa Arkan—nama panggilan pria itu—begitu familier di mata para staf rumah sakit. Selain Harlene—adiknya, yang sudah menjadi pasien tetap di rumah sakit ini, Adiprana Hadinata, sang ayah yang menjadi salah satu penyumbang dana bagi penelitian dan pengembangan medis di rumah sakit yang berlokasi di pusat kota ini. Mungkin juga menjadi alasan yang lebih kuat, sehingga kedatangannya selalu disambut baik karena keberadaannya memang tak asing bagi para dokter dan perawat. 

Melangkahkan kakinya mendekat pada sebuah pintu yang terbuka sedikit, sehingga ia dapat melihat aktivitas pemeriksaan di dalamnya. Mulanya dia akan menunggu hingga pemeriksaan selesai, namun ketika ia menangkap mata sang adik yang begitu saja berotasi kepadanya, Arkan pun melongokkan kepala. 

Satu tangan yang bebas dari selang infus itu melambai ke arahnya. “Mas!” Panggilnya semangat, kontras dengan keadaan wajahnya yang begitu pucat. 

Satu dokter dan satu perawat yang sedang melakukan pengecekan berkala pada kondisi Harlene, menoleh ke arahnya. Keduanya serentak memasang senyum, membuat Arkan percaya diri melangkah ke dalam. 

“Maaf, telah mengganggu waktunya,” seloroh pria itu, mengulurkan jabat tangan yang seketika itu langsung disambut oleh sang dokter. 

“Tidak, Pak. Sama sekali tidak,” bantah dokter wanita itu sopan. “Kami juga sudah selesai melakukan pemeriksaan,” Dia menatap Harlene untuk sesaat, lalu menatap Arkan kemudian, mengerling pada bagian ruangan lain. Hingga ketiganya sepakat dalam diam untuk beralih ke sudut ruangan. 

“Bagaimana kondisinya?” Arkan langsung berucap cepat, ketika mereka telah menyingkir sedikit jauh dari Harlene.

“Ada peningkatan tekanan dan stres pada paru-parunya. Dan itu disebabkan karena sebuah gangguan lain,” jelas sang dokter. 

“Apa?”

Dokter wanita itu menatap pasiennya yang berbaring di atas ranjang, dan tampak penasaran dengan pembicaraan mereka. “hipertensi pulmonal, Yaitu adanya tekanan darah abnormal pada salah satu pembuluh darah. Menyebabkan paru-paru yang tersisa bekerja lebih keras untuk mengkompensasi ketiadaan satu paru-paru lain. Selain itu jika tidak ditangani secara serius kondisi ini dapat menyebabkan berbagai gejala dan komplikasi yang lebih …” Dia menghela napas. “Gawat lagi”

“Lalu bagaimana kondisinya saat ini? Apakah membaik?” Tanya Arkan tak sabaran, dia tak memahami istilah medis yang diungkap oleh sang dokter. Yang pasti, dia hanya ingin tahu apakah kondisi Harlene sudah jauh lebih baik daripada kemarin, saat pertama kali dilarikan ke rumah sakit. 

“Kami sudah melakukan beberapa penanganan medis, salah satunya dengan melakukan tindakan IV untuk menurunkan tekanan pada pembuluh darah paru-paru, dan … syukurlah, hari ini pasien sudah mulai mengalami peningkatan kesehatan ke arah yang lebih baik.”

Entangled; The Home We Dream OfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang