Petang itu, ketika hujan kecil berjatuhan membasahi bumi. Arkan sedang berada di dalam mobil dan memangku macbook di atas paha.“Menurut gue desain-nya si ... siapa? Si anak baru itu pokoknya, lebih masuk buat proyek ini. Simbolisme dan narasi dalam desain fasadnya lebih dapet menurut gue.”
Suara sang teman terdengar. Keduanya sedang berdiskusi daring terkait beberapa hal, mengenai rencana proyek pembangunan sebuah museum. Dan Biro arsitek mereka dipercayai untuk mendesain rancangannya.
Arkan mendesah. “Ya, tapikan yang kita nilai bukan cuma konsep dan nilai estetikanya aja, fungsi dan kegunaannya sih yang paling penting. Terutama kalau kita ngomongin aksesibilitas dan efisiensi ruang.” Berdeham pelan, dengan mata yang melirik pada restoran yang berjarak beberapa meter dari keberadaan mobilnya saat ini. “Kita lihat aja nanti tanggapan dari pihak sana. Yang penting kita udah siapin beberapa desain-nya.”
Tatapannya beralih lagi pada layar laptop yang menampilkan tampang teman kuliah sekaligus rekan yang bekerja sama membangun biro arsitek yang diketuai olehnya itu.
“Iya, sih. Tapi gue belum tenang kalo lo—”
“Pak Arkan.”
Sang asisten pribadi menginterupsi dari kursi depan. Membuat Arkan tak lagi mendengarkan lanjutan kalimat temannya. Seketika dia menoleh menatap dari balik jendela mobil.
“Kan?”
Arkan mengerjap dan mengerutkan kening berpikir. “Rayi,” balas memanggil nama sang teman.
“Hm?”
“Lo masih di Skala ‘kan?”
“Iya, kenapa?”
Arkan melirik lagi keluar. “Lo tolong awasin dulu kerjaannya anak-anak ampe kelar. Nggak masalah?”
“Emangnya gue berani bilang 'masalah' sama bos besar?” Candanya sembari terkekeh ringan. “Nggak masalah, biar gue yang kelarin kerjaan di sini.”
Setelahnya, keduanya mengakhiri diskusi daring tersebut.
“Kamu lihat Miko keluar?”
Arkan menyimpan macbook pada kursi mobil di sebelahnya.
“Iya, Pak. Sekitar lima menit lalu mobil Mas Miko sudah pergi dari area restoran,” jawab Andi cepat, membuat Arkan mendengkus pelan. Dia membuka jas abu yang sedari tadi membalut tubuhnya, membuka dua kancing teratas dari kemeja putih yang dikenakan, juga menggulung lengan kemeja hingga siku.
Membuka pintu mobil dan menjejakan kaki di atas paving block halaman sebuah restoran. Rintik hujan masih mewarnai suasana di waktu menjelang malam ini.
“Saya sudah mengkonfirmasikan kedatangan anda kepada Pak Aro.”
Arkan mengangguk, lantas mulai melangkah memasuki restoran kasual modern tersebut, dan langsung disambut oleh seorang pria yang tak lain adalah pemilik restoran ini. Keduanya bercengkrama sebentar, sebelum asisten pribadi Arkan menginterupsi tentang tujuan mereka berkunjung ke sini.
Keduanya ditempatkan di sebuah meja yang langsung menghadap pada pintu yang memisahkan ruangan pengunjung dan dapur.
Arkan bersedekap dada, menatap lurus ke depan hingga pintu baja itu terbuka dan segera menampilkan dua anak manusia berbeda jabatan yang berjalan ke arahnya. Seorang pemilik restoran dan pelayannya.
Seringai di wajah Arkan tampak, ketika ia menyadari ekspresi bingung yang ditampilkan si pelayan.
“Pak Arkan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Entangled; The Home We Dream Of
Romanzi rosa / ChickLitMeira dan kemalangan adalah sahabat karib. Hidupnya tak pernah jauh dari sesuatu bernama kesusahan. Memiliki seorang ibu tunarungu yang sekarang sedang dirawat di rumah sakit, karena penyakit berat yang telah menggerogoti tubuhnya sedari lama. Tingg...