Prolog

5 0 0
                                    

Empat puluh menit sebelum kereta tujuan akhir ibu kota diberangkatkan. Suasana stasiun masih cukup lengang karena fajar baru saja menyentuh garis ujung cakrawala. Tidak banyak yang berlalu-lalang, hanya terlihat segelintir orang yang memang akan pergi dengan kereta itu dan petugas kebersihan yang sudah sibuk dengan pekerjaannya. Termasuk laki-laki dengan setelan sporty serba hitam. Masih dengan wajah bantalnya, dia menyeret malas koper hitam kesayangannya menuju pintu toilet yang tidak jauh dari lorong peron. Matanya masih berat, tapi dia berusaha fokus.

Pagi ini, bukan ibu kota yang menjadi tempat tujuan Laut. Dia hanya akan berada di kereta itu selama dua jam hingga tiba di kota tempat dia lahir dan pernah tinggal.

Laut berhenti di depan cermin besar yang hampir  memenuhi separuh dinding bagian depan toilet stasiun. Kedua netra hitamnya menatap pantulan dirinya sejenak. Tidak ada yang dilakukan selain  merutuki dirinya sendiri karena terlihat begitu kacau. Mata sayu dengan lipatan dibawahnya, bibir pucat, dan rambut yang berantakan sukses membuat laki-laki itu kesal.

Laut menghela nafas panjang. Tanpa membiarkan waktu berlalu lebih panjang lagi, dia membasuh wajahnya kasar dan dilanjutkan menyurai rambutnya ke depan hingga menutup dahi. Setelah puas dengan hasilnya, dia memasang masker hitam yang telah disiapkan sebagai pelengkap style-nya kali ini.

"Laut!?"

Dari arah kanan, tepat disebelahnya, bersamaan dengan Laut yang akan meninggalkan tempat itu, dia menyadari jika seseorang yang baru saja datang itu memanggil namanya. Mata laut dengan cepat menatap tubuh laki-laki bersuara berat yang tampak tidak asing banginya. Laut berusaha mengingat, dimana dia pernah bertemu dengan orang ini dan siapa namanya.

"Raga" Gumam pria itu lagi. Dia menyadari bahwa Laut belum mengenalinya

Laut mengerutkan dahi, kaget. dia benar-benar tidak percaya dengan yang ada di depan matanya sekarang. Apakah itu Raga, teman dekat Semeru? Dia ada di kota ini? Ada apa?

Sudut bibir Raga sedikit terangkat, "Masih belum ingat?" Kali ini dia menepuk lembut bagian depan kepala Laut.

Detik itu, sentuhan ringan Raga sukses membawa ingatan Laut yang samar kembali datang. "Oh, maaf, aku baru saja ingat. Apa kabar bang?" Kata Laut sambil menggaruk tengkuknya, dia sedikit kikuk.

Muncul berbagai pertanyaan di kepala Laut. Apakah ini sebuah kebetulan atau kesengajaan? Bagaimana bisa dia masih mengenaliku? Pastinya dia juga akan naik di kereta yang sama denganku, kan?

"Ayolah, kau masih bisa memanggilku seperti dulu.", Raga keberatan saat Laut memanggilnya sangat formal. "Anyway, kabar baik. Dan sepertinya kau juga begitu" Raga melanjutkan.

Laut tersenyum dari balik maskernya, "Sekarang kita sudah lebih tua. Bahkan kau sudah berkepala tiga." Katanya mencoba mencairkan suasana.

"Kau ini!" Raga dengan cepat merangkul kepala Laut dengan lengannya, membuat Laut tertawa kecil sambil berusaha melepaskan dirinya "Lihat saja ke depan, bukankah kita masih terlihat tampan?" Lanjutnya dengan tawa khasnya yang masih Laut kenal sejak lama.

"Lepasin, bang!" Mohon Laut yang diikuti tawa, tapi hal itu malah membuat Raga semakin mengeratkan rangkulannya.

"Oke-oke, fine! Tolong lepasin, Raga!." Laut benar-benar menyerah. Raga masih tertawa, tapi kemudian dia melepaskannya.

Raga mengusap kepala Laut sekali lagi. Kali ini lebih lama. Dia benar-benar merindukan adik kecilnya ini. "Kalau saja Semeru melihatmu." Gumamnya pelan.

Kalimat itu, meskipun lirih, berhasil membuat dada Laut sesak saat itu juga. Dia mengangkat kepalanya hingga menatap mata sendu milik Raga. Keduanya kini saling menatap. Nama itu, seseorang yang sangat berarti dalam hidup Laut, hanya dengan mendengarnya saja ingatan yang berusaha dia kubur dalam-dalam kembali menyeruak. Kebodohan yang berujung penyesalan, ketakukan, kehilangan dan kerinduan. Semua itu tanpa sadar membuat Laut tidak bisa menahan lagi air matanya.

"Maaf, Laut." Bisik Raga menyesal. Dia merutuki kesalahannya. Dia merasakan kesedihan yang begitu pekat.

Hanya dalam satu detik, dia berhasil merusak pagi hari Laut.

Laut cepat-cepat menyeka air mata yang mulai berjatuhan di wajahnya lalu membasuhnya dengan air dingin. Sebisa mungkin dia menahan agar tangisnya tidak pecah. Dia juga menyadari, sudah tidak seharusnya lagi dia terbawa emosi. Masa lalu yang sempat membuatnya jatuh terlalu keras tidak sebaiknya dia ingat kembali.

Ruangan itu lengang.

Selama beberapa saat dia berusaha menenangkan diri dan membiarkan Raga berdiri menatapnya. Sampai akhirnya dia teringat, sudah terlalu lama dia berada di toilet stasiun itu. Netranya melirik jam di tangannya kemudian, ternyata hanya dua puluh menit sebelum waktu keberangkatan. Dan karena tidak ingin membuang-buang waktu lagi, Laut memilih segera pamit dari tempat itu.

Akan tetapi, tepat sebelum Laut mengambil langkah pertamanya, Raga menggenggam lengannya. Memberikan isyarat agar dia tidak pergi dulu. "Temui aku di gerbong restoran setelah menaruh barangmu. Aku akan menunggumu disana." Kata Raga pelan kemudian melepaskan genggamannya.

Laut kembali menatapnya, dia bingung. "Ada apa?" Tanyanya dengan suara getir.

Raga menatapnya dalam. "Ini tentang Semeru."

05:00 PMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang