follow banyu di Instagram @banyu_pramudana
---
Banyu melangkah perlahan menyusuri lorong sekolah, sambil menggigit bibirnya. Ia terbiasa berjalan sendirian, menghindari tatapan-tatapan yang seringkali menyelidik atau menghakimi. Dengan kulitnya yang pucat nyaris seputih kertas dan rambut peraknya yang mencolok, Banyu tahu dirinya selalu jadi sorotan. Bagi kebanyakan orang, ia berbeda—entah dalam cara yang positif atau negatif.
Hari ini terasa panjang. Ulangan matematika yang tak terduga, guru yang terus-terusan menahan Banyu di akhir kelas, serta komentar teman sekelasnya yang selalu terdengar di belakang punggungnya: "Banyu albino itu, kasian deh..." Banyu menggertakkan giginya setiap kali mendengar kata-kata seperti itu.
Tapi, begitu dia melangkah keluar gerbang sekolah, Banyu melihat sosok yang sudah akrab: keenam sahabatnya yang setia menunggunya seperti biasa. Mereka semua terlihat ceria, dan begitu melihat Banyu, mereka langsung melambaikan tangan dengan gaya santai yang khas.
“Heh, lo lama banget, Nyuu!” Harsa langsung bercanda sambil mendekat, memasukkan tangannya ke saku dan tertawa lepas. “Udah nggak sabar mau ngelayap nih!”
Banyu tersenyum tipis, "Sori-sori, tadi ketahan di kelas. Si Bu Rini nyuruh gue beresin soal tambahan."
“Paling rajin!” ledek Farel sambil mengacak rambut Banyu dengan tangan besarnya. “Gara-gara albino, kali ya, jadi cepet pinter.”
Banyu tertawa kecil, tapi tak bisa menahan sedikit rasa jengkel. "Bisa aja, lo. Kalau pinter gara-gara albino, gue udah juara olimpiade matematika kali.”
Yang lain ikut tertawa, dan Nadif menepuk bahu Banyu. “Santai aja, Bro. Lagian kita nggak akan ninggalin lo juga. Udah janji mau nunggu Banyu tiap hari kan?”
“Eh iya, Nyuu, mau nggak nongkrong dulu bentar? Ada tempat kopi baru buka deket sini,” ajak Kenan sambil melirik yang lain dengan tatapan penuh semangat. “Katanya enak banget es kopinya!”
Banyu terdiam sesaat, menimbang. Meski capek, hati kecilnya tak mau melewatkan kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama mereka. Mereka ini, satu-satunya orang yang bikin Banyu merasa normal dan diterima.
“Yaudah, gas aja, kapan lagi?” Banyu menjawab dengan semangat. Mereka semua bersorak, dan tanpa pikir panjang langsung bergerak menuju kafe terdekat.
Di kafe itu, mereka ngobrol ngalor-ngidul, mulai dari guru-guru aneh di sekolah sampai film yang lagi trending. Tapi, saat suasana lagi santai-santainya, Devan tiba-tiba buka obrolan serius.
“Nyuu,” ucapnya pelan, sambil mengaduk-aduk es kopinya, “gue cuma mau bilang… kalau lo butuh tempat buat cerita, kita semua ada buat lo, bro. Ngerti kan?”
Banyu mengangguk, sedikit tersentuh. Di dalam keluarganya sendiri, ia tak pernah mendapat perlakuan seperti ini. Orang tuanya sibuk dengan urusan masing-masing, dan perhatiannya lebih banyak tercurah ke Bumi, kakaknya yang dianggap sempurna. Bumi selalu jadi pusat perhatian—pintar, tampan, dan selalu sukses di segala hal yang ia lakukan. Orang tuanya seringkali menempatkan Banyu di bawah bayang-bayang kakaknya, seolah-olah ia hanyalah pelengkap dalam keluarga.
“Tenang aja, gue baik-baik aja kok,” jawab Banyu sambil tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.
Satria, yang biasanya lebih tenang, langsung menatap Banyu dalam-dalam. “Lo tau, kita di sini nggak cuma buat ketawa bareng doang, kan? Jangan segan cerita sama kita.”
Banyu menghela napas, merasa bersyukur namun juga bingung harus berkata apa. "Yaudah, kalau ada apa-apa, pasti gue cerita, kok," katanya akhirnya, meski dalam hati ia belum benar-benar yakin.
Setelah beberapa lama, mereka semua berpamitan untuk pulang. Malam itu, Banyu berjalan sendirian ke rumah, merenungi percakapan tadi. Seandainya keluarganya punya kehangatan yang sama seperti teman-temannya, mungkin ia tak perlu merasa sepi setiap kali berada di rumah.
Saat ia masuk ke rumah, Banyu langsung melihat Bumi yang duduk di ruang tamu, serius mengerjakan tugas. Meski jarang bicara, Banyu selalu merasa Bumi adalah satu-satunya yang benar-benar peduli padanya di keluarga ini. Tanpa banyak basa-basi, Bumi menatapnya, memberikan senyuman kecil. Senyuman itu sederhana, tapi cukup untuk memberi Banyu kehangatan dan ketenangan.
“Balik dari mana, Nyuu?” tanya Bumi santai, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya.
“Nongkrong aja, sama anak-anak. Ga kemana-mana kok,” jawab Banyu sambil tersenyum kecil.
“Bagus lah, kalau gitu. Jangan dipendam sendiri, ya,” kata Bumi pelan tapi penuh makna. Meski sederhana, kata-kata Bumi adalah hal yang paling dekat dengan dukungan yang pernah ia dapatkan dari keluarganya.
Banyu mengangguk, dan sebelum masuk ke kamarnya, ia menoleh lagi ke arah kakaknya yang masih tenggelam dalam tugas. “Thanks, Mas,” bisiknya pelan. Mungkin Bumi tidak mendengarnya, tapi malam itu, Banyu merasa sedikit lebih kuat.
Di kamarnya, ia menatap bayangan dirinya sendiri di cermin. Ia mungkin berbeda, dan ia mungkin punya beban yang tak dimiliki orang lain. Tapi, dengan kehadiran sahabat-sahabatnya dan dukungan dari Bumi, Banyu tahu bahwa ia tidak benar-benar sendirian. Ia hanya perlu belajar menerima dirinya, pelan-pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
arus yang bertaut
Teen Fictionplagiat dilarang mampir! Banyu selalu merasa berbeda. Lahir dengan kondisi albino membuat penampilannya jauh berbeda dari orang lain. Kulitnya putih pucat dan rambutnya seperti disinari cahaya bulan. Di rumah, Banyu jarang merasa diterima. Orang tua...