chapter 3:pertemuan dirumah sakit

28 16 5
                                    

vote duluu <3








Ruang tunggu rumah sakit terasa hening meski dipenuhi orang. Bau antiseptik menyeruak di udara, bercampur dengan suara pelan alat pengumuman yang menyebutkan nomor antrean. Banyu duduk di kursi plastik keras itu, memegang kertas hasil scan otak yang baru saja ia terima. Tangannya sedikit bergetar.

Kanker otak. Stadium tiga.

Dokter sudah menjelaskan semuanya—pilihan pengobatan, risiko, dan kemungkinan yang tidak pernah ia bayangkan akan ia hadapi di usia semuda ini. Banyu menunduk, menatap lantai ubin yang tampak terlalu putih.

Kata-kata itu terus berputar dalam pikirannya. Ia menunduk, mencoba mengalihkan perhatian dengan menatap lantai. Namun, lamunannya buyar ketika seseorang duduk di sebelahnya.

“Permisi,” sebuah suara lembut menyapa. “Kamu sakit apa?”

Banyu menoleh, sedikit terkejut. Di sampingnya, seorang pemuda duduk dengan tongkat penuntun di tangannya. Matanya terpejam rapat, dan senyum tipis menghiasi wajahnya.

Banyu menelan ludah. Pertanyaan itu sederhana, tapi terasa berat baginya. Setelah beberapa detik ragu, ia menjawab, “Kanker otak. Stadium tiga.”

Pemuda itu terdiam sesaat, sebelum tersenyum tipis. “Kamu kuat banget.”

Banyu mengerutkan dahi, bingung dengan komentar itu. “Kenapa?”

“Karena kamu ada di sini. Berani menghadapi semua ini. Itu nggak mudah, kan?”

Banyu terdiam, merasa bingung harus menjawab apa. Lalu, ia bertanya, “Kalau kamu? Kamu sakit apa?”

Pemuda itu terkekeh kecil, lalu menggeleng. “Saya nggak sakit. Saya cuma menemani teman saya.” Ia menoleh ke arah suara pintu terbuka, meski matanya tetap terpejam. “Saya bersyukur masih sehat.”

Jawaban itu membuat Banyu tertegun. Ia tidak menyangka mendengar seseorang berbicara tentang syukur di tempat seperti ini.

Hening sejenak, sebelum Banyu memberanikan diri bertanya, “Tapi... kamu buta, kan? Kamu nggak marah sama Tuhan? Tuhan yang bikin kamu jadi kayak gitu…”

Pemuda itu kembali terkekeh, kali ini lebih pelan, lalu tersenyum lebar. “Kenapa harus marah? Saya ini ciptaan Tuhan. Terserah Tuhan mau buat saya seperti apa.”

Banyu menatapnya, merasa malu dengan pertanyaannya sendiri. Tapi pemuda itu melanjutkan, “Lagipula, Tuhan kasih saya banyak hal yang nggak semua orang punya. Keluarga yang sayang sama saya, teman-teman yang peduli, dan tubuh yang sehat. Saya buta, iya. Tapi itu cuma satu bagian kecil dari hidup saya.”

Kata-kata itu membuat Banyu terdiam. Dalam benaknya, ia selalu merasa hidupnya penuh ketidakadilan. Tapi pemuda ini, yang hidup dalam kegelapan, justru mampu melihat terang yang tidak pernah ia sadari.

“Saya arshi, by the way,” pemuda itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.

“Banyu,” jawab Banyu, menjabat tangan itu perlahan.

Awan tersenyum, lalu menepuk pundak Banyu pelan. “Semangat ya, Banyu. Nggak apa-apa kalau hari ini berat. Tapi ingat, Tuhan selalu tahu apa yang Dia lakukan.”

Sebelum Banyu sempat menjawab, suara perawat memanggil teman arshi. Pemuda itu berdiri untuk menemani temannya, mengucapkan salam perpisahan dengan ceria, dan berjalan perlahan dengan tongkat penuntunnya, meninggalkan Banyu yang masih duduk terpaku.

Saat itu, untuk pertama kalinya, Banyu merasa ada sedikit celah dalam tembok berat yang selama ini mengungkungnya. Ia belum tahu bagaimana menghadapi semua ini, tapi ia merasa lebih ringan.

---

Sore berganti malam, hari mulai gelap. Banyu udah selesai pemeriksaan, dan sekarang dia lagi jalan pulang. Rasanya capek banget karena jarak rumah sakit ke rumahnya lumayan jauh. Kenapa nggak naik kendaraan umum aja? Jawabannya, dia harus hemat. Uang saku yang Banyu dapet dari orang tuanya nggak banyak, beda jauh sama uang saku kakaknya, Bumi, yang jelas lebih besar dari miliknya.

TIN! TIN! TIN!

"BANYUU!" Banyu langsung nengok ke arah suara itu. Ternyata Satria, temen lama yang bawa mobil hitam kesayangannya, yang ia beri nama "Ate."

"Naik, lo! Abis dari mana sih? Bawa tas segala? Gak bisa nongkrong, katanya ada urusan?" Satria langsung nanya banyak banget.

"Gue emang abis ada urusan," jawab Banyu sambil naik ke mobil Satria.

"Urusan apaan?"

"Kepo banget lo, mirip Dora," Banyu jawab dengan senyum tipis.

Satria cuma terkekeh. "Ya udah deh, gue nggak bakal nanya lagi. Tapi serius, lo kelihatan capek banget. Gimana kalo gue anterin pulang?"

Banyu mikir sejenak. Satria memang temen baik yang selalu pengen bantu, tapi dia juga nggak mau merepotkan. "Gak usah deh, Satria. Gue mending jalan sendiri, biar bisa mikirin banyak hal,itung itung olahraga" jawab Banyu, meskipun sebenarnya dia sedikit capek.

Satria agak kecewa, tapi dia ngerti. "Oke deh, kalau lo yakin. Tapi lain kali, kalo lo capek banget, bilang aja. Lo nggak sendirian, ada gua yang ganteng ini." ucap satria sambil berpose

Banyu cuma senyum tipis, dalam hati berterima kasih meskipun nggak diucapin. "pede banget buset, udah gua jalan dulu," katanya sambil melambaikan tangan.

Satria cuma ngangguk, dan mobilnya pun mulai melaju pelan, ninggalin Banyu yang masih melanjutkan langkahnya. setelah kurang lebih 20 menit ia berjalan akhirnya Sampai juga di pintu gerbang rumahnya. banyu bergerak membuka pintu gerbang dan menutupnya, ia melangkah kearah pintu rumahnya. sunyi dan gelap.

"dari mana saja kamu anak cacat!"

------------
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-

banyu kenapaa tuu😲😲😲 jangan lupa vote ya lovee!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

arus yang bertautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang