"Life is bullsh*t candy and high doses of drugs"
●●●
Matahari begitu terik berlomba-lomba mengiringi kayuhan sepeda onthel yang sudah cukup tua, tapi tidak rentan. Udara yang dipenuhi dengan polusi itu tidak membuatnya berhenti. Seolah mau bagaimanapun, tidak ada yang dapat menghentikannya kecuali dirinya dan Tuhan. Pikirnya.
Tas selempang yang cukup kotor dengan kain yang mulai rapuh itu memeluk erat tubuhnya sambil membawa beberapa barang penting yang membantunya melanjutkan hidup. Setidaknya hari ini.
Tin-tin
Suara klakson dari mobil tiba-tiba mengajaknya berbicara satu arah dari belakang dengan tidak santai. Lalu, beberapa detik kemudian melaju mendahuluinya tanpa permisi. Kalau saja ia tidak segera ke sisi, bisa mati. Sepedanya.
Tidak sekali dua kali mengalami hal itu. Hingga mulutnya pun sudah lelah bersumpah serapah. Entah sekalipun ia berada di jalur yang benar. Tetap salah. Tidak ada yang benar bagi orang-orang yang tidak merasa salah. Itu adalah salah satu topping dalam kertas robekannya.
Sebuah toko dengan banyak lukisan yang terpampang jelas di luar menjadi tempat pemberhentiannya. Ruang yang tidak begitu besar itu dipenuhi dengan karya yang selalu berhasil memanjakan matanya dan membuatnya merasakan sedikit semangat yang terkubur dalam-dalam. Tangannya bergerak mengambil salah satu kanvas yang tidak begitu besar dari dalam tasnya, lalu mengusap meja kaca yang berdebu terlebih dahulu sebelum menaruhnya.
Tanpa berkata apapun, lelaki paruh baya dengan topi yang warnanya sudah pudar itu memberikan dua lembar kertas yang berbeda di samping kanvas.
"Nggak bisa dilebihin, Ki?"
Lelaki paruh baya yang ternyata adalah pemilik toko bernama 'Tarna' yang berasal dari namanya sendiri mendengus, "Masih untung saya beli. Nggak pernah tuh saya nolak jualan kamu. Teu boga kaera jelema, teh"
Mendengar kalimat yang tidak begitu enak adalah makanannya sehari-hari yang mau sudah kenyang pun tetap harus dimakan.
"Hatur nuhun, Ki" Balasnya sambil tersenyum juga sedikit menunduk dan langsung keluar dari toko yang sudah berdiri selama kurang lebih sepuluh tahun. Ia mengenalnya baru dua bulan. Tapi, syukurnya, Tarna menjadi pelanggan setia walau harus siap siaga menghadapi mulutnya yang terlalu banyak diasah.
Ia pun mengeluarkan diary kecilnya dan membuka beberapa halaman sampai pada halaman yang berisi list nama-nama tempat yang perlu ia kunjungi hari ini. Pulpennya pun mencentang urutan ke tiga. Masih ada tujuh tempat lagi dengan jaraknya yang tidak terlalu berdekatan. Tapi, tidak masalah.
Sebelum melanjutkan perjalanan, ia perlu ke satu tempat yang tidak tertulis di bukunya. Tempat yang biasa ia kunjungi satu minggu sekali. Bukan karena sibuk sampai tidak bisa setiap hari, tapi karena terlalu berat untuk selalu melihatnya.
Butuh waktu empat puluh lima menit untuk sampai pada sebuah bangunan dengan warna putih kusam dan berbagai tanaman di halamannya agar membuatnya lebih hidup. Tapi, baginya seperti bunga yang ditabur di atas kuburan.
Semenjak wanita yang melahirkannya pindah rumah ke sana, ia tahu bahwa akan semakin sulit Mamanya membukakan pintu untuknya. Tiap obrolan yang ia mulai tidak pernah panjang karena yang bersuara hanya dirinya. Sekalinya Mamanya membalas pun tidak pernah ada namanya.
Tapi, harapan selalu ada bukan? Walau tiap berkunjung tidak ada yang berubah. Malah, kadang semakin parah. Namun, ia terus berusaha agar Mamanya itu kembali mengingat dan mengakui bahwa ia adalah putrinya. Satu-satunya.
"Ma? Aku bawain roti kesukaan Mama, lho. Mau aku suapin?"
Tidak ada jawaban. Wanita paruh baya yang ia ajak bicara itu hanya menatap kosong keluar jendela sambil duduk di atas ranjang.
"Mama beruntung karena rasa yang Mama mau masih ada. Biasanya udah abis. Aku telat ke sananya. Maaf, ya, Ma" Lanjutnya tanpa memalingkan pandangan dari wanita paruh baya yang tubuhnya menjadi kurus.
Masih tidak ada jawaban.
Ia pun perlahan mendekatinya lalu memegang kedua pundaknya, namun Mamanya segera menepis dan beranjak dari duduknya, "Pergi! Jangan ambil suami saya! Pergi! Pergi dari rumah kami! Jangan sakiti suami saya!"
Wanita paruh baya itu terus berteriak histeris mengulangi kalimat yang sama. Matanya memerah dan kepanikan memenuhi wajahnya. Tak lama, perawat segera datang dan ia tahu bahwa harus pulang sekarang juga dengan sangat berat hati.
Tatapannya nanar memandang sekitar. Teriakan Mamanya masih terdengar jelas di telinganya. Langkahnya yang gontai meraih sepeda yang sedari tadi menunggunya. Ia pun keluar dari tempat itu tanpa menaiki sepedanya.
Setelah berada di depan pagar hijau tua yang sudah tertutup kembali, ia menatap tempat itu selama beberapa detik. Memandanginya dengan pikiran yang tidak pernah rapi semenjak menginjakkan kakinya di sini.
'Rumah Sakit Jiwa Prima Harapan'
***
Welcome to my new universe!
Hopefully, kalian bakal suka.
Mohon maaf nih bukan update sebelah malah buat yang baru🙏
Tungguin terus ya semuanya!^^
Makasih banyak!
See u~~~
Best Regards,
favnblu
KAMU SEDANG MEMBACA
Grayish
Teen Fiction"Mereka bakal nangis, nggak, ya, di pemakamanku?" "Hush! Kamu kalau ngomong yang bener!" "Lho.. ujungnya kita semua bakal pulang, kan?" "Ya.. tapi, kan nggak sekarang" "Aku cuma penasaran. Kalau orang tuaku biasa aja atau bahkan nggak datang ke...