Pagi itu, suasana di dalam mobil terasa tenang, seperti biasanya. Violetta duduk dengan anggun, memandangi jalanan kota yang dipenuhi aktivitas pagi. Namun, ketenangan itu terusik ketika ponselnya yang tersimpan dalam tas bergetar. Ia mengeluarkan ponsel dan menatap layar. Begitu melihat nama pengirim pesan, napasnya terhembus pelan, seolah sudah muak bahkan sebelum membaca isinya.
Pesan itu lagi-lagi dari Flora. Kali ini, Flora kembali mengirimkan permintaan maaf, mungkin berharap Violetta akhirnya akan memaafkan kesalahan besar yang ia lakukan. Namun, hati Violetta masih terasa sakit. Setiap kata dalam pesan itu seperti menambah luka yang belum sepenuhnya sembuh. Perasaan kecewa, dikhianati, dan amarah bercampur jadi satu.
Tanpa membuka pesan lebih lanjut, Violetta menutup ponselnya.
Di sepanjang perjalanan, suara radio mobil melaporkan berita terbaru dengan nada serius. Penyiar menyampaikan bahwa telah ditemukan sebuah virus baru yang belum diketahui asalnya. Virus tersebut sudah menyebar di seluruh ibu kota, dan pemerintah menghimbau warga untuk menjaga kebersihan dan mematuhi panduan kesehatan sampai ada pemberitahuan lebih lanjut. Terdengar kepanikan tersirat dalam suara penyiar, seolah masalah ini jauh lebih besar daripada sekadar penyakit biasa.
Namun, Violetta hanya mendengarkan berita itu sambil lalu, tak begitu peduli. Pikirannya masih terfokus pada hal lain-lebih tepatnya pada pesan dari Flora yang lagi-lagi muncul di layar ponselnya. Seketika itu, perasaan jengkel dan perih kembali menguasai hatinya. Mengabaikan pesan penting tentang virus yang bisa jadi mengancam nyawanya, Violetta malah memilih tenggelam dalam luka emosionalnya, perhatiannya tertarik sepenuhnya pada pengkhianatan yang dilakukan oleh orang yang pernah ia percayai.
Ia membuka pesan dari Flora dengan perasaan bercampur aduk, meskipun tahu bahwa membaca pesan itu hanya akan menambah beban di hatinya.
Violetta menatap pesan dari Flora dengan perasaan yang semakin memuncak. Kalimat-kalimat itu seolah melukai lebih dalam, seperti Flora mencoba mencari alasan untuk mengubah kenyataan.
|Flora|
"Gue minta maaf, Vio. Gue bener-bener gak bermaksud ngerebut Zean dari lo. Gue harap lo ngerti kalau gue dan Zean udah lebih dulu saling cinta sebelum kalian jadian."Pesan itu seolah ingin Flora meyakinkan Violetta bahwa semuanya bukan salahnya, bahwa perasaan mereka yang sudah lama ada adalah alasan di balik semua ini.
Violetta merasa jengah, bahkan lebih dari itu. Tanpa pikir panjang, ia langsung membalas dengan nada penuh amarah dan rasa sakit hati yang sudah lama terpendam.
"Lo seharusnya berpikir, Flo. Gue temen lo dari SD, lo juga tau seberapa cinta nya gue sama Zean. Jahat lo."
Pesan itu keluar begitu saja, penuh dengan emosi yang sulit untuk ditekan lagi.
Matanya berkunang-kunang sejenak, rasanya seluruh tubuhnya dipenuhi rasa kecewa yang mendalam. Flora bukan hanya mengkhianati hubungan mereka, tetapi juga merusak ikatan persahabatan yang telah mereka bangun sejak kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood in the Hell
HorrorKetika wabah zombie mulai menyebar di sekolah, Violetta berusaha keras untuk menahan perasaannya. Luka hatinya akibat perselingkuhan Zean dan Flora masih segar, dan kini dia terjebak dalam situasi hidup dan mati yang mengharuskan dia untuk tetap fok...