bab 81

3.3K 557 30
                                    


   Wendy baru saja selesai membantu putranya bersiap entah apa yang mereka lakukan tadi di taman padahal Renjun sudah mandi tapi pakaiannya langsung kotor penuh noda saos sepertinya bahkan semua anaknya berkeringat padahal mereka tidak sedang berlari.

  Pukul 9 Wendy harus berangkat ke rumah sakit untuk melihat sekaligus membuka perban di kaki putranya.

"Anak mama sudah tampan hm" baru saja Wendy selesai menyisir rambut putranya.

"Mau jalan apa di gendong om Hendra?" Ujarnya melihat Renjun yang sangat fokus dengan tontonan di depannya.

"Jun jalan ma api pelan" ujarnya membuat Wendy langsung memanggil Hendra untuk membantu putranya turun, sedangkan dirinya akan bersiap sekarang.

   Sesampainya di bawah Hendra masih menemani Renjun yang sudah asik dengan rubik di tangannya.

"OM UMIN JUN!" Renjun berteriak bahkan membuat Hendra sedikit terkejut lalu matanya melihat ke arah yang di tunjuk Renjun.

"Ejal om, umin Jun, moca moci" pekiknya saat melihat boneka moomin miliknya yang berukuran kecil di bawa lari oleh moci dan di buat mainan dua kucing lucu itu.

  Hendra sendiri langsung mengejar dua kucing yang membawa boneka milik tuan mudanya walaupun dia kalah lincah dengan dua kucing itu.

"ANGKAP OM, HUWAAA NANIS UMIN JUN" Renjun sendiri sudah mencak mencak di atas sofa bahkan rubik di tangannya sudah dia lemparkan ke sembarang arah.

"Moca moci anjil HUWAAA mama, moca moci nakal" histeris nya apalagi melihat Hendra yang kesulitan menangkap kedua kucing itu yang terus bersembunyi dan berlari ke lorong lorong meja.

  Wendy yang mendengar suara teriakan anaknya langsung buru buru turun karena takut terjadi sesuatu.

"Renjun ada apa sayang?" Paniknya apalagi melihat anaknya yang sudah hampir menangis di lantai entah bagaimana Renjun turun dari sofa apalagi melihat bantak sofa yang sudah berserakan.

Duk!

"Aduh"

  Wendy langsung mengalihkan perhatiannya melihat Hendra yang keluar dari bawah meja dengan mengusap kepalanya.

"Hendra kamu ngapain?" Herannya melihat bodyguard putranya itu keluar dari bawah meja.

"Ngambil ini nyonya" Hendra menunjukkan moci yang masih menggigit ekor kecil boneka milik tuannya.

"Umin Jun ma" pekiknya membuat Wendy mengerti sekarang apa yang sedang terjadi.

"Hendra masukan moca moci ke kandangnya ya setelah itu kita berangkat" pintanya setelah mengambil boneka putranya dari cengkraman kucing kecil itu.

"Ini mama simpan sini ya, biar gak di ambil moca moci lagi" Renjun hanya menganggukkan kepalanya saja melihat mamanya yang menyimpan boneka kecilnya di dalam lemari kaca.

"Ayo berangkat, nanti kita jemput jie oke" Wendy menuntun Renjun yang jalannya masih sedikit susah menurutnya karena putranya itu tidak mau lagi pake kursi roda lagian lukanya pasti sudah lebih baik dan nanti tinggal nunggu kering.

  Kursi rodanya tetap dirinya bawa untuk di rumah sakit nanti karena ruangan dokter Alan juga jauh dari lobi.

"Kakinya udah gak sakit kan sayangnya mama" Wendy mengelus rambut putranya.

  Renjun kini bersandar nyaman di pundak mamanya sambil mengamati jalanan yang tampak senggang.

"Dak ma, capi kaki Jun ilang" Renjun kembali menatap kakinya yang masih berbalut perban.

"Nanti di sulap sama dokter Alan, bimsalabim gitu nanti kaki Injun ada lagi" ujarnya hingga Renjun sedikit mengernyit.

"Bimlabim itu ma" tanyanya, Wendy sendiri hanya menganggukkan kepalanya saja.

"Iya pake mantra bimsalabim, tapi Injun gak boleh nangis nanti, kalau nangis mantranya gagal loh" Wendy sudah membayangkan, walaupun sudah tidak merasa sakit tapi nanti saat perban itu di lepas pasti terasa nyeri.

"Oke Jun dak nanis anti ma, melah belhenti om" pekik Renjun tiba-tiba melihat rambu lalu lintas tang berwarna merah.

"Eehh kok pinter sih anak mama, siapa yang ngajarin, om Reno ya" ujarnya karena dirinya baru tau kalau putranya juga mengerti arti warna lampu lalu lintas.

"Om leno ajal ajal, melah berhenti catanya telus kuning ciap ciap telus h hhijau jalan, itu ma" ujar Renjun menjelaskan pada mamanya yang kini berpura-pura tidak tau.

"Waw mama kalah pinter hm" Wendy mencubit pelan hidung putranya membuat Renjun tertawa dengan kejahilan mamanya.










"Jisung coba kamu rileks bentar, tubuhmu terlalu kaku" ujar kak Damar yang bertugas melatih tarian tradisional bersama kak Ajeng.

  Jisung sendiri sepertinya kualahan karena biasanya dia dance modern malah di suruh belajar tari tradisional.

"Gak apa apa masih pertama nanti juga lemas sendiri, yang penting kamu bisa menghayati setiap alunan musik nanti tubuhmu akan ikut sendiri, sama seperti dance modern juga kan, kalau kita bisa masuk ke dalam musik itu sendiri pasti itu terasa sangat mudah" ujar kak Ajeng melihat Jisung yang hanya diam sembari duduk di lantai.

"Ya udah masih ada waktu setengah jam buat istirahat sebelum kamu nanti berlatih dance modern, Gio ajak berteman Jisung nya kalian satu kelas dance kan?" Ujar kak Damar sedangkan Jisung sendiri langsung menatap pemuda disebelahnya yanh sudah mahir bahkan tubuhnya sangat terampil sekali menarikan tarian tradisional.

  Gio yang namanya di sebut langsung mengangguk dan menghampiri Jisung yang masih berdiam sembari memegang botol minumnya.

"Gue Gio, gue lebih tua kayaknya panggil abang aja" ujarnya sembari mengulurkan tangannya yang langsung di sambut baik oleh Jisung yang sedikit canggung.

"Jisung bang" lirihnya.

"Lu pemalu juga ya anaknya kalau di liat liat, tapi lu hebat loh bisa langsung masuk ke kelas menengah, gue dari nol banget di sini, kalau butuh apa apa atau lu kesusahan bilang aja ke gue nanti" ujar Gio sedangkan Jisung sendiri bingung harus merespon seperti apa.

"Bang Gio sendiri hebat kok, tadi, aku masih kaku" gumam Jisung membuat Gio sedikit tersenyum.

"Biasa masih awal nanti juga lemes sendiri, yuk ke kelas dance kita ngobrol di sana, sepatunya jangan di tinggalin itu" ujar Gio membuat Jisung buru buru memasukkan kembali botol minumnya dan juga membawa sepatunya yang tadi dia lepas.






   Benar apa yang di takutkan Wendy, lihat saja sekarang Renjun malah memeluknya erat setelah mereka berada di ruangan dokter Alan.

  Dokter Alan sendiri sudah siap dengan alat alatnya untuk membuka perban di kaki Renjun dan mungkin nanti akan cuma di tutup dengan hansaplast saja nanti.

"Dokter Alan mau ngasih mantra itu, ayo katanya mau kakinya gak ilang nak" Wendy sudah berusaha membujuk putranya namun Renjun tetap menggelengkan kepalanya pelan.

   Akhirnya dari pada semakin lama karena sebenarnya mereka sudah telat seharusnya tiba pukul setengah sepuluh malah baru tiba pukul sepuluh lebih.

  Kini Renjun sudah di pegangin dari belakang oleh salah satu perawat dengan dokter Alan yang sudah memangku satu kaki Renjun dan ada satu perawat lagi yang memegangi kakinya karena Renjun sedari tadi terus berusaha menarik kakinya kembali.

"Mama hiks no dak ma hiks" Renjun sudah menangis sedari tadi melupakan janjinya yang tidak bakal menangis ketika perban itu di buka.

  Dokter Alan sendiri tengah fokus menggunting lilitan perban dan melepaskannya hati hati karena perban terakhir sedikit lengket dengan lukanya yang sudah hampir mengering.

"Huwaaa cakit OKTER JEYEK DAH DAH MAMA" teriakan Renjun benar benar memenuhi ruangan milil dokter Alan.

"Sayang udah ya, liat liat kakinya udah balik loh" Wendy mengusap air mata putranya saat melihat dokter Alan sudah selesai melepas perban di kaki Renjun.

"Hiks ka kaki Jun dak ilang hiks" gumamnya melihat kakinya yang sudah kembali dan tidak di lilit perban.

"Iya kakinya gak hilang, dokter punya mantranya" dokter alan mengusap kepala Renjun gemas melihat wajah Renjun setelah menangis.

"Ma Puyang"









   Ayo jangan lupa vote sama komen oke

Stars Behind the Darkness Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang