3

119 20 0
                                    

Aku kembali ke rumah masih dengan sedikit sempoyongan, ada dua puluh panggilan tak terjawab dari ayah dan ibuku. Dan seperti yang kalian tau, aku tentu saja dimarahi habis-habisan oleh orang tuaku karena aku mabuk-mabukan. Untunglah mereka tidak tau perkara aku 'tidur' dengan lelaki tampan di hotel, jika mereka tau itu pasti aku digantung oleh orang tuaku. Jadi, jangan sampai mereka tau jika aku senakal itu di luar sana. Oh ya, jangan sampai Vicle tau juga perihal aku yang 'tidur' dengan lelaki lain.

Aku kembali ke dalam kamar setelah mendengar ceramah kedua orang tuaku. Namun sesampainya di dalam kamar, aku mendengar sesuatu.

"Jangan ganggu kakakku, dia tidak tau apapun. Kakakku mungkin hanya khawatir denganku karena aku suka bicara denganmu. Tapi aku akan merahasiakanmu dari kakakku, jangan dekati kakakku ya? Kumohon, kita kan teman?" itu suara Jihoon dari kamar sebelah.

Aku langsung mengerutkan keningku, jelas-jelas ada yang aneh dan tidak sehat disini, apa adikku berhalusinasi lagi? Aku segera menuju ke kamar Jihoon dan membuka pintunya tanpa mengetuk.

Set!

Pintu terbuka dan menampilkan adikku yang berdiri di depan tembok dengan wajah terkejut.

"Kak Jeon! Apa yang kau lakukan! Pergi sana!" Teriak Jihoon dengan wajah panik, seperti dia sedang menyembunyikan sesuatu.

"Aku tidak mau pergi sebelum kau mengatakan siapa yang kau ajak bicara itu! Jelas-jelas tidak ada orang disini! Apa kau punya teman hayalan? Jika iya, aku akan mengajakmu ke psikolog!" kataku sambil berkacak pinggang. Namun, Jihoon tetap memberontak dan mendorong-dorong tubuhku supaya pergi dari hadapannya.

"Pergi! Pergi! Kak Jeon tidak perlu tau siapa yang aku ajak bicara! Pergi!" Ujar Jihoon. Anak itu berhasil mendorongku sampai ke luar pintu.

Blam!

Kemudian menutup pintu tepat di depan hidungku.

Aku menghela nafas keras sambil memijit-mijit pangkal hidungku, sepertinya aku harus membawa Jihoon ke psikolog.

Aku lantas hendak berbalik ke arah kamar.

Deg

Namun, sebuah bayangan tiba-tiba lewat tembok depan mataku. Bayangannya besar dan tinggi, jelas bukan bayanganku. Tanpa berpikir panjang, aku langsung masuk kembali ke dalam kamar.

.
.
.

Tidak bisa, sudah seminggu aku tidak mendapatkan kabar dari Vicle. Dia sama sekali tidak menemuiku. Ataupun menghubungiku. Jika begini, bukankah lebih baik putus saja? Aku tidak mau digantung terus.

Maka, setelah selesai bertemu client, aku bertandang menuju apartemen Vicle. Namun, seperti biasa, seperti ada sesuatu yang mengintaiku. Aku melirik beberapa kali ke arah jok belakang mobilku, berharap dapat menemukan sesuatu. Namun kosong, tidak ada apapun. Menghela nafas aku lakukan. Aku menginjak pedal gas, memacu kecepatanku supaya cepat sampai apartemen Vicle, kemudian minta putus secepatnya. Hubungan ini sudah tidak bisa dipertahankan lagi.

Beberapa saat kemudian, aku sampai di apartemen Vicle. Aku berdiri di depan apartemennya, mengambil nafas dan menghembuskanya keras-keras. Padahal, sejujurnya aku belum mau putus dengannya. Namun, karena kelakukan Vicle yang cuek dan dingin akhir-akhir ini, mungkin Vicle yang ingin putus denganku tapi lelaki itu mungkin tidak tega mengatakan putus sehingga dia berlaku dingin padaku agar aku bisa peka dengan kode nya dan membuat aku ingin putus. Baiklah, bersikap dingin mungkin adalah kode darinya supaya aku memutuskan hubungan dengannya. Baiklah, untuk apa aku menahan seseorang yang sudah tidak senang denganku?

Aku menekan tombol bel beberapa kali.

Pintu kemudian terbuka, menampilkan Vicle yang kali ini masih memakai jas kerjanya. Nampaknya dia baru selesai bekerja juga. Tapi.......wajahnya kali ini sangat pucat, jauh lebih pucat dari sebelumnya. Namun, sekarang aku tidak peduli, dia pun sudah tidak peduli padaku.

THE DEVIL IN MY HOUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang