4

375 33 2
                                    


Hari ini, rencananya aku ingin membawa Jihoon ke psikolog. Aku bangun pagi-pagi sekali walau ini hari minggu. Sebenarnya, tubuhku terasa sakit akibat aktivitas panasku semalam dengan Vicle. Sekitar jam sembilan malam kemarin lelaki itu kembali mengantarku ke rumah. Yah, akhirnya kita tidak jadi putus. Vicle memeluk erat-erat sambil menangis dan berjanji akan berubah. Hah, aku memberinya kesempatan. Lagipula, ada yang aneh dengannya, dia seperti memiliki......kepribadian lain. Tapi belum tentu juga kan? Mungkin saja Vicle sedang depresi dan melampiaskannya padaku? Aku akan memberikannya waktu untuk berubah.

Aku kemudian mengambil posisi duduk di atas kasur, namun aku melihat ada tanda lebam di betisku. Lebamnya cukup jelas dan besar. Apa Vicle semalam terlalu kasar padaku?

Aku mencoba menyentuh tanda lebam itu, namun tidak terasa sakit.

Drrrtt

Drrrtt

Aku menoleh ke arah nakas, dimana handphone ku berada, aku langsung mengambilnya.

Ternyata ada sebuah pesan, dari nomor yang tidak dikenal.

Halo Jeon Jarrel. Aku Choi Juna yang kemarin. Maaf mengambil kartu namamu di saku jas mu kemarin setelah kita bercint*. Aku meletakan nomorku di atas nakas kamar hotel, berharap kau akan menghubungiku namun ternyata kau tidak menghubungiku, jadi aku lah akhirnya yang menghubungimu. Ngomong-ngomong apa kau ada waktu malam ini? Ada yang ingin aku bicarakan. Tolong balas pesanku.

-Choi Juna.

Aku mengerutkan keningku. Melempar ponsel ke arah bantal, aku tidak peduli dengan lelaki itu. Aku sudah punya pacar, dan sekarang aku sudah baikan dengan Vicle, aku tidak ingin bermain-main lagi dengan siapapun.

Daripada memusingkan lelaki itu, aku memilih untuk ke kamar mandi untuk bersiap-siap dan juga aku ingin membicarakan masalah adikku kepada kedua orang tuaku.

.
.
.

Meja penuh dengan makanan, seperti biasa, setiap pagi ibu pasti memasak banyak untuk sarapan. Dan sekarang, kami sekeluarga melingkari meja dengan masing-masing sendok makan di tangan. Aku memperhatikan ayah, ibu dan Jihoon yang lahap memakan makanannya. Mereka terlihat hidup dengan nyaman, seolah-olah tidak ada apapun yang aneh di rumah ini. Terutama ayah dan ibu, apa mereka sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di rumah ini? Terutama tentang Jihoon?

Aku menaruh sendok di atas piring yang masih ada sepotong roti di atasnya.

"Ayah, bisakah kau memperbaiki lampu lorong yang mengarah ke toilet?" tanyaku, ayah kemudian menoleh padaku dengan keadaan mengunyah dan pipi menggelembung seperti tupai.

"Apa maksudmu? Lampu disana baik-baik saja, ya kan ibu?" tanya Ayah sambil menatap ke arah ibu dan wanita itu mengangguk.

"Semalam, ibu beberapa kali bolak-balik ke kamar mandi, tapi lampunya baik-baik saja. Mungkin saat kau lewat lampunya kebetulan konslet sementara" jawab Ibu dan ayah mengangguk.

Aku kembali menghela nafas.

"Dan soal pintu ruangan bawah tanah itu, bukankah itu terlalu aneh ayah? tidak ada pintu normal yang tidak boleh disentuh, apa yang sebenarnya ada disana? Apa sebaiknya kita pindah saja dari rumah ini?" tanyaku, aku melihat kedua orang tuaku yang saling bertatapan.

"Pokoknya disana ada sesuatu, intinya jangan sentuh. Oh ya, untuk pindah rumah, repot sekali kalau harus pindah nak, biaya nya juga sangat besar" jawab ayah. Mendengar jawaban ayahku, aku merasa tambah aneh, kenapa ayah merahasiakan isi ruangan bawah tanah itu? Untuk apa?

Tapi, untuk perkataan ayahku tentang rumah benar. Apalagi, tabunganku juga belum cukup untuk membeli rumah baru.

"Ayah, aku juga melihat Jihoon akhir-akhir ini yang berbicara sendiri"

THE DEVIL IN MY HOUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang