5.

30 9 3
                                    

Jisung mendapatkan cuti selama 1 minggu karena kematian Neneknya, tangan itu meremat keras amplop coklat yang baru saja ia terima.

"Gue gak butuh, mending lo ambil lagi." Ucapnya kembali mengulurkan nya pada sang Bunda.

"Jiji—"

Jisung menatapnya penuh benci melemparkan amplop itu dengan kasar ke arah sana hingga isi di dalamnya berhamburan.

"Ji, maafin Bunda." Lirihnya, bantingan pintu tentu buat Sana memejamkan matanya.

Salahkan dirinya yang tak bisa meluangkan waktu untuk sekedar menemani anak-anak nya yang kehilangan sosok yang selalu menemani mereka sedari kecil.

Sana bahkan tak datang di hari pemakaman sang Ibunda tercinta, orang yang sudah melahirkan nya juga mengurus kedua anaknya.

Ia merapihkan kembali uang itu, menyimpan nya di atas meja yang ada di depan rumah.

Matanya menatap dengan sedih bangunan rumah itu sebelum benar-benar pergi.

"Maafin Bunda ya, walaupun Bunda tahu Jiji gak akan pernah mau maafin Bunda." Bisiknya kecil.

Sana kembali berjalan menuju mobilnya yang terparkir di sana, menyalakan klakson sebelum benar-benar pergi. Seolah tengah berpamitan.

Jisung masih disana, menunduk dalam dengan pipinya sudah di basahi air mata.

Sebenarnya juga tak tega begitu kasar kepada ibunya sendiri, tapi jika saja Bunda nya datang di hari pemakaman mungkin Jisung akan benar-benar mulai meluluhkan hatinya, namun tidak. Wanita itu datang setelah 5 hari berlalu, "gue gak akan pernah maafin lo, sampai kapanpun."

Sedangkan di dalam kamar, Felix menatap sang Bunda di balik jendela, hanya separuh kepalanya yang menyembul. Maniknya yang masih bengkak menatap kepergian ibunya sedih.

"B-bunda, hiks.."

Melihat mobil itu pergi, Felix bangkit ia berjalan menuju pintu.

Begitu pelan, pintu itu terbuka. Felix mengintip, bisa ia lihat Jisung yang sedang menangis. Pria itu menutup wajahnya dengan punggung tangan, tubuhnya yang terisak tentu tak luput dari penglihatan sang adik.

Ini pertama kalinya ia melihat sang kakak menangis begitu pilu, Felix menggigit bibir bawahnya. "Hhngg.."

"K-kak Ji.."

Jisung mendongak, ia mengelus wajahnya dengan kasar. "Sini, Lici!"

Felix kembali menangis, ia memeluk tubuh itu erat. "Kak Ji, hiks.. Jangan tinggalin Lici, huhuhu.. Kenapa nenek pergi? hiks.."

"Nenek udah gak sayang Lici, K-kak J-ji.. huhu.."

"Ssst, Nenek udah gak sakit lagi Lici. Nenek juga masih sayang sama Lici."

Felix masih menangis, buat Jisung mengelus surai pirang itu lembut. "Udah ya? Jangan nangis lagi."

Jisung kasihan, nafas Felix yang tersedat membuat adiknya sesekali terbatuk.

Ia menarik sang adik agar terduduk di sofa, mengelus wajah itu dengan lembut.

"Kalo kamu nangis terus, nanti nenek sedih."

"Hhngg, hiks.."

Bibir itu melengkung ke bawah, buat Jisung terkekeh kecil. Ia menarik surai Felix yang sudah panjang untuk di ikat.

"Udah siang, mau makan apa?" Ucapnya mengelus hidung Felix yang sudah meler.

Jisung meraih tisu yang tak jauh darinya, menyimpan nya di hidung sang adik.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Feeling Taste Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang