A Moment of Uncertainty

33 6 0
                                    

* * *

Di sudut kafe, lelaki itu duduk dengan tenang, ditemani secangkir kopi susu yang mengepul lembut. Semburat cahaya senja menembus kaca jendela, memancar halus ke wajahnya, menciptakan kilauan hangat pada mata emasnya yang menatap ke luar dengan tenang. Pancaran cahaya itu jatuh tepat di rambut merahnya, menonjolkan tiap helaian dengan keindahan yang memikat, seolah warna api terpantul dari tiap ujungnya. Bibirnya, berwarna pink alami, membentuk senyum kecil saat ia menyeruput kopi susu perlahan. Dalam senja yang temaram, ia tampak seperti potret yang sempurna—seperti bagian dari cahaya yang menyatu dengan keremangan, membawa kehangatan tersendiri di tengah hiruk-pikuk yang tak ia hiraukan.

Namanya Caine Chana. Ia duduk diam, matanya tertuju pada cangkir kopi susu di hadapannya, seolah mencari ketenangan dalam guliran cairan hangat itu. Dengan ujung sendok kecil, ia mengaduk perlahan, menonton pusaran lembut yang terbentuk di permukaannya.

Saat Caine masih tenggelam dalam pikirannya, seorang teman tiba-tiba muncul di hadapannya. Rambutnya biru terang, sedikit kusut, dengan tubuh yang agak pendek dibanding Caine, namun kehadirannya selalu penuh energi. Ia tersenyum kecil, lalu menarik kursi dan duduk di seberangnya. Caine mengerutkan dahi, sedikit bingung. Biasanya, temannya itu tak pernah terlihat sendirian—selalu ada kekasihnya yang menemaninya ke mana pun ia pergi, hampir tak terpisahkan. “Tumben sendirian?” Caine akhirnya bertanya, mencoba menyembunyikan rasa penasarannya.

Temannya hanya mengangkat bahu, tampak berusaha mengalihkan perhatian. "Butuh udara segar," jawabnya singkat sambil mengambil menu dan memindai pilihan minuman. Namun, Caine bisa melihat ada sesuatu yang berbeda. Wajah temannya yang biasanya ceria tampak sedikit murung, senyumnya tak seterang biasanya. Ia menyesap kopi susunya lagi, mengamati temannya dengan tatapan penuh tanya.

“Kalian berantem?” Caine memberanikan diri bertanya, meski suaranya sengaja ia turunkan agar terdengar lebih santai.

Temannya mendesah pelan, sejenak menatap cangkir kosong di meja. “Entahlah, Caine. Kadang… ya, begitulah,” jawabnya dengan suara yang sulit ditebak, penuh keraguan. Lalu ia tersenyum lagi, seakan mencoba menutupi keresahannya. Tapi Caine tahu ada lebih dari sekadar kata-kata di balik senyum itu, sesuatu yang membuatnya ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya yang jarang sekali datang tanpa tawa dan canda.

Caine menatapnya dengan saksama. Temannya itu bernama Souta, seorang yang biasanya penuh canda dan jarang terlihat tanpa senyuman. Souta selalu membawa energi yang cerah dan riang, sama seperti warna rambut birunya yang mencolok. Tapi kali ini, ekspresi wajahnya tampak muram, dan senyumnya samar, seolah sedang menyembunyikan sesuatu di baliknya.

Caine mencoba mengurangi ketegangan dengan melemparkan senyum kecil. "Kau tahu, Souta, aku selalu terbuka kalau kau butuh tempat bicara," ucapnya pelan, sedikit berharap kata-katanya dapat membuka percakapan yang lebih dalam.

Souta mendongak, menatap Caine dengan mata yang sejenak tampak berat. “Terima kasih, Caine,” katanya, lalu menunduk kembali sambil mengaduk kopi pesanannya yang baru tiba. “Kadang aku merasa… terlalu bergantung pada seseorang. Mungkin aku butuh waktu sendiri, untuk paham apa yang sebenarnya kuinginkan.”

Kata-kata itu membuat Caine tersentuh, karena ia tahu betapa kuatnya ikatan antara Souta dan kekasihnya. Ia mengangguk pelan, memberikan Souta ruang untuk melanjutkan jika ia mau. Mereka duduk dalam keheningan sejenak, masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri.

Souta menggulirkan sendok di pinggir cangkirnya, seperti tengah mempertimbangkan sesuatu. Setelah beberapa detik, ia mengangkat wajahnya, menatap Caine dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. “Hei, Caine… aku penasaran,” katanya perlahan, memilih kata-katanya hati-hati. “Kau masih suka sama Rion?”

Between DoubtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang