Gadis itu keluar dari mobil Lamborghini yang ia tumpangi bersama sang kakak. Langkahnya terlihat gontai, menatap lekat pada apa yang berada di depannya saat ini. Sebuah gedung sekolah megah, di dominasi warna putih plus puluhan rimbun pohon hijau yang mengitari menciptakan udara yang sejuk.
SMA Pelita Bangsa.
Ia masih tidak bisa menerima kenyataan, walaupun ada setitik rasa bahagia dalam lubuk hati terdalam. Bisa mengurai kembali masa remaja, bukan sekedar halu semata.
"Bagaimana bisa?" ribuan kali kalimat ini terbesit di bibir kecilnya.
"Ayo,"genggaman tangan Arga membuyarkannya,"jangan takut, ada kakak disini."Arga menyimpulkan senyum sembari memapah Xaviera.
Arga tampak sangat bahagia, adik kecilnya itu telah kembali.
"Kamu masih gak inget, ya?"Tanya Arga lembut.
Viola—maksudnya Xaviera, mengerjap,"eh iya, maaf ya."tukasnya menunduk.
Bukan tidak ingat, melainkan beda jiwa.
"Ya sudah gak pa-pa, pelan-pelan aja. Kakak bakal selalu ada buat kamu, jangan sungkan tanya atau minta sesuatu ya."
Xaviera hanya mengangguk, dia masih bingung menghadapi keluarga barunya itu.Perlakuan mereka sangat manis—kak Arga dan Papa Ansel, menyemburkan perasaan tenang dan hangat dalam diri—perasaan yang belum pernah ia rasakan selama hidup sebagai Viola.
Viola hanya mesin uang bagi keluarga di kampung, tidak lebih dan tidak kurang.
Keduanya berjalan menuju lapangan sekolah, sebelumnya Arga sudah menyarankan agar adiknya itu berada di dalam kelas saja. Namun Xaviera menolak, si mungil ini bersikeras mengikuti upacara.
Riuh siswa dan siswi di lapangan membuatnya bernostalgia, upacara yang dulu ia anggap membosankan sekarang malah bikin semangat.
Arga menunjuk barisan kelas milik adiknya—sesaat setelah kembali dari kelasnya dan kelas Xaviera untuk meletakkan tas mereka.
"Kamu di sana, X ipa 1."
"mau kakak kantar?"tawar Arga.
Dibalas dengan gelengan Xaviera, "aku bisa sendiri."ia berusaha mengulas senyum terpaksa, mau bagaimana pun sekarang Arga adalah kakaknya.
Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru lapangan, hingga berhenti pada sepasang mata cokelat laki-laki di seberang sana.
Ia merasa familiar dengan ke dua bola mata itu.
Arga masih khawatir dengan kondisi dan perubahan adiknya drastis sejak sadar. Xaviera yang dulu suka heboh dan jahil itu hilang, berganti menjadi gadis pendiam dan suka melamun.
Bagi Arga bukan suatu masalah besar, ia yakin adiknya akan kembali perlahan. Dokter mengatakan perubahannya adalah sebagian besar karena trauma benturan di kepalanya.
Ck! Arga mengepalkan tangannya kencang, dendamnnya berkesumat ingin segera mengetahui dan menghabisi pelaku penyerang Xaviera. Kemudian menguliti mereka tiada ampun.
Melihat Xaviera sudah mendapatkan barisan, ia berlalu menuju barisan kelasnya sendiri.
%%%
Di sini Xaviera sekarang, di dalam kelas X IPA 1 dan duduk manis di bangkunya. Ia mendapat bantuan dan arahan dari Dinar terkait tempat duduk. Meja nomor tiga dari depan, paling kiri, lurus dengan meja guru.
"Kamu gak ingat aku?"
Xaviera menggeleng.
"Jadi kamu juga gak ingat kalau aku teman sebangkumu?"
Xaviera kembali menggeleng.
Jam pelajaran pertama bahasa Indonesia, namun ketua kelas mengumumkan jika pak Garno—guru bahasa Indonesia kali ini tidak bisa hadir. Para murid X IPA 1 dihimbau agar mengerjakan soal di buku paket.
"HORE!" teriakan-teriakan bahagia menggema di kelas X IPA 1.
Sesuai dugaan, bukannya mengerjakan tugas, anak-anak kelas sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Perlu digaris bawahi, beberapa murid tetap patuh sesuai perintah pak Garno.
"Dari dulu sampek sekarang sama aja ternyata," cicit Xaviera.
"Apa, Xav?"Selidik Dinar samar mendengarkan teman di sampingnya itu berbicara.
"Anak-anak biasanya emang kayak gini, ya?" Tanya Xaviera.
"Hm," cibir Dinar,"bukannya emang tabiat anak sekolah begini ya?"lanjutnya terkekeh.
"Hehe, bener juga."Xaviera pun ikut terkekeh kecil.
Dinar dan Xaviera sendiri mencoba menjadi murid teladan, dibukanya buku paket masing-masing.
%%%
Dua teman sebangku yang kembali akrab—ah lebih tepatnya Xaviera, mulai membuka diri untuk teman barunya itu kini sedang menangkap suasana kantin. Sebelum itu, Dinar dengan sabarnya merayu Xaviera agar mau pergi ke kantin. Dinar tau, temannya itu butuh beradaptasi lagi layaknya murid baru.
Mata keduanya mengedar, mencari celah kursi dan meja kosong untuk mereka tempati.
"Xav,"tarik Dinar,"pojok kana nada yang kosong,"yuk."
Xaviera mengekor di belakang temannya itu.
"Mau pesen apa?"Tanya Dinar agak menaikkan volumenya, agar suaranya dapat terdengar di tengah kantin yang ramai.
Keduanya duduk berhadapan,"bakso sama es teh aja,deh." Tutur Xaviera. Lalu Dinar mengangguk, kemudian beranjak dari kursi menuju kios kantin yang di sana terdapat menu yang Xaviera sebutkan.
"Kemana?"Xaviera memegang lengan Dinar,
"Aku pesenin, kamu tunggu sini."
Xaviera manggut-manggut, benar-benar teman yang pengertian. Sepertinya Dinar akan menjadi teman baiknya.
"PESANAN DATANG, NONA." Dinar membawa nampan yang telah terisi dua bakso dan dua es teh.
"Loh sama?"Xaviera mengernyit, teman nya benar-benar unik.
"iya hehe, pas liat mang ujang ngeracik bakso aku jadi pengen juga."
Tak banyak yang mereka bicarakan selama di kantin. Nampak keduanya kelaparan, jadi hanya fokus pada mangkok bakso masing-masing. Hanya sesekali melempar senyuman tipis, benar-benar kayak baru kenalan.
"HALOOO, boleh duduk sini?" Suara cempreng seorang laki-laki menginterupsi, membuat si empunya mengalihkan perhatian.
Terlihat dua orang remaja laki-laki menatap Dinar dan Xaviera, meminta izin untuk bisa bergabung di meja sebab yang lain sudah penuh.
"Tentu, silahkan kak."mata Dinar berselidik menyusuri tanda pengenal di lengan sebelah kanan yang menunjukkan kelas 11 IPS 3—berarti kakak kelas!
KAMU SEDANG MEMBACA
ABOUT LIFE
Teen FictionBerhalusinasi sepuasmu, tapi jangan lupa kembali ke dunia nyata. Lantas, bagaimana jika halusinasimu adalah suatu kenyataan?