Perlahan, setelah mengoleskan salep antiseptik, Tul mengambil perban non-lengket untuk membalut luka di punggung tangan kekasihnya. Mew hanya diam, memperhatikan raut serius di wajah pihak lain tanpa mengganggu, sampai akhirnya dirasa cukup dan Tul mulai membereskan peralatan obat yang sempat digunakan.
Selesai dengan itu, Tul menatap lurus ke depan, memusatkan perhatiannya pada sang kekasih.
"Kita pulang saja, ya?" Tawar Tul sambil mengambil tangan yang terbalut perban putih itu dengan hati-hati.
Mew mengangguk setuju. Seandainya dia saja yang terluka, Mew akan membujuk kekasihnya itu agar mereka tetap berada di kantor mengingat tumpukan tugas yang masih menunggu.
Meski terlihat tidak ada masalah, apa yang dialami Tul beberapa saat lalu masih membuat Mew khawatir. Diapun mulai terbiasa menerima perlakuan berbeda dari kebanyakan karyawan lain.
Setelah perdebatan mengenai siapa yang mengemudi, hasilnya sudah bisa ditebak--Mew yang akhirnya mengalah, membiarkan pihak lain menjalankan mobil keluar dari area basement.
"Phi ingin makan apa? Kita bisa mampir dulu." Tanya Tul melirik ke samping dengan kedua tangan tetap berada di setir mobil.
Mew tampak berpikir sejenak sambil melihat ke arah jalan di depan, "Kita mampir saja di restoran setelah lampu merah, ada menu lard di sana."
Saat mobil berhenti di lampu merah di perempatan jalan, Tul kembali menoleh, "Phi ingin makan di sana atau kita bungkus saja?"
"Kita makan di sana saja, phi ingin kau ikut makan."
"Mmm." Meski dirinya tidak merasa lapar, Tul tidak keberatan asal sang kekasih mau untuk memasukkan sesuatu ke dalam perutnya. Dia menatap ke depan, melihat lampu di atas yang telah berubah--hijau, dia yakin tidak salah.
Namun, kenyataannya berbeda. Hanya mobil Tul yang bergerak, sementara yang lain masih menunggu. Ada sesuatu yang memanipulasi pandangan pria itu.
"AWAS!"
Terlambat bagi Tul menyadari, mobil lain menghantam dari arah kanan mengakibatkan benturan keras. Setelahnya, Tul tidak melihat apapun, hanya merasakan bagaimana mobilnya terbalik karena tubuhnya dilindungi oleh Mew yang menekan kepalanya ke dada bidang pria itu.
Tul merasa pening, kepalanya berdenyut, mata yang tadi spontan terpejam kini terbuka perlahan. Lalu, dia segera menyadari sesuatu.
"Tidak," panik menyerangnya, matanya memanas, dan dengan tangan gemetar Tul berusaha membalikkan tubuhnya, terlindungi oleh tubuh lain di bawah yang membuatnya tidak terluka.
"TIDAK! PHI MEW!" Air matanya lolos, betapa terkejut mendapati pihak lain dengan darah yang mengalir di balik kepala dan tubuhnya, tidak sadarkan diri.
"Tidak, ku mohon, buka matamu." Tenggorokan Tul tercekat, kedua tangan pria itu menangkup wajah Mew dengan gemetar.
Tul menyatukan dahi mereka, air matanya membasahi wajah sang kekasih yang setia memejamkan mata.
"Please..." bisik Tul putus asa, dan seketika dia merasakan kesakitan fisik yang menyerang. Dadanya terasa sesak, napasnya tersengal, kesadarannya nyaris direnggut. Tapi, sekuat yang dia bisa, Tul berusaha tetap sadar, mencoba membangunkan pihak lain tanpa memperdulikan suara orang-orang yang mulai terdengar di sekitar.
"Phi... " Satu kata itu yang mampu Tul ucapkan dengan susah payah sebelum semua berubah gelap dalam sekejap.
Hanya perlu hitungan detik sampai dia kembali bisa membuka kedua matanya. Segalanya memang gelap, tapi Tul yakin dirinya berhasil sadar meskipun tubuhnya terasa aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Heart's Return [MewTul]
FantasíaWaktu membawa Tul kembali, bertekad menghapus penyesalan yang menghantui dan mengikat cinta yang tidak akan pernah dia lepaskan. MewTul fanfic LAPAK BL HOMOPHOBIC GA USAH BACA!