Aku melukis wajahmu dengan kata
yang tak menulis dengan tinta
tidak mengucap dengan lisan
Ia membersit dalam detak
mencurah dari hati ke benak
menyita penuh ruang pikiran
hingga tumpah ruah asa cita
yang mencucur melinang ke mata
untuk menguap tapi mengawang
dalam tatap dan pandang
tidak hanyut lenyap
tidak lebur lesap
Aku melukis, tidak, kataku melukis,
melukis wajah, bibir, hidung, mata, alis
tanpa warna tapi merona
Kataku melukismu, wajahmu--
wajahmu, rupamu, wujudmu,
dalam bisik di dinding hati
dalam bersit di serat akal
dalam citra di retina mata
pada suatu dan sekali detik
dan terus ada, membetik,
menyata, mengekal, meliputi
Kataku tidak menulis
dengan tinta di atas kertas
ia melukis, kataku melukis
bukan dengan cat di atas kanvas
ia melukismu dengan satu betik
pada suatu dan sekali detik
yang tiba-tiba berdenyut di hati
lalu bernafas dalam dada
lalu berenung dalam khayal akal
lalu nampak dalam kanta mata,
melayang, melanda, menempati
ruang luang
Kataku melukismu sunyata,
ia bernafas, berdetak, berdenyut
kataku hidup dan bernyawa
dan jelmanya berasa berjiwa,
ia beranjak bergerak
rautnya menoleh, mendongak
matanya menatap, membelalak
bibirnya tersenyum, merengut
lisannya berbisik, bersenandung
rambutnya terikat, terurai
dan kening dan alis dan hidung
dan pipi dan dagu dan telinga
dan leher dan bingkai dan tungkai
dan seluruh sudut, ceruk, celah, rongga
dan semua dan segenap dan setiap
pudar, pucat, langsat, kilau, kilap,
lekuk, lipat, rekah, kerut, susut
semua sempurna terekacipta
Kataku, wujudmu,
jelmaan asa cita
dan *asa ci*ta,
dariku adamu
olehku semata
untukku sejati,
bagiku searti
denganku senyawa--
kauku serasa sejiwa
YOU ARE READING
Ralinsha
Non-FictionIt started on the eleventh day of the third moon, the day before my thirty-eighth sun, this year. Having seen her on the box days or weeks earlier, it occured to me that particular day to write a poem about her, not knowing whence and how the fancy...