06.

480 166 36
                                    







"Jadi, apa yang akan kalian makan?" Tanya Theodore. Ia bernafas kesal saat melihat gadis yang baru saja ia selamatkan dengan Adrian, duduk berdempetan dikursi restauran yang mereka singgahi untuk menyarap.

"Aku Center-Cut Sirloin & Shrimp. Kau suka apa, nak?" Tanya Adrian, pada gadis kecil yang sedang memeluk lengan Adrian dengan wajah ekspresi ragu dan malu.

"Kau mau makan itu untuk sarapan?" Tanya Theodore tidak habis pikir.

"Apa? Itu bahkan bukan makanan utama. Aku sedikit menahan diri karena ada Ana disini," sanggah Adrian.

"Ana?"

"Oh, itu nama anak ini." Adrian menunjuk dengan dagunya sembari mengusap pelan kepala gadis itu.

"Dia punya nama?"

"Aku berikan nama untuknya. Sebelumnya dia dipanggil dengan 'nomor 27', jelek. Jadi aku beri nama dia Anastasia."

"Kau terlalu baik untuk gadis yang secara teknis merebut tempatmu untuk menghabiskan malam denganku." Kata Theodore, setelah mencatat pesanan dari Adrian.

"Anak ini akan makan sandwich daging, dan jus jeruk," Ucap Adrian. Dia sudah lelah untuk memaki Theodore atas niatnya meniduri gadis yang masih lemah dan tidak tahu soal dunia itu. Tetapi, yah, Theodore punya alasan mengapa dia melakukannya. Enigma yang mengamuk karena nafsunya tidak terpenuhi bisa menciptakan malapetaka. Dan Adrian juga baru tahu kalau anak ini adalah omega dominan yang cukup kuat untuk menahan Theodore meski hanya sebentar. Itu yang Theodore butuhkan. Tapi entahlah, Adrian tidak yakin akan hal ini. Dia benci mengakuinya tapi dia tidak suka situasinya.

Theodore kembali beberapa saat kemudian memegang dua nampan penuh dengan makanan dan meletakkannya diatas meja.

Ana masih memeluk Adrian yang bersiap-siap makan. Theodore sudah meletakkan bagiannya didepan gadis itu, tetapi dia menolak bergerak dari sisi Adrian. Theodore tampak frustasi. Ana memang menjauhinya sejak kemarin mereka kabur. Sepertinya itu dikarenakan Theodore memang tampak mengintimidasi, dan genggaman Theodore pada lengan Ana meninggalkan bekas. Pria itu memang kasar. Pantas saja Ana lebih suka dengan Adrian yang tampak ramah baginya.

"Aku tidak menganggap Ana sebagai saingan." Adrian berucap. Ia memakan steaknya dengan elegan, seperti biasa. Jari telunjuk menekan punggung pisau pelan, dagu yang tetap diatas, tidak menunduk, bibir terkatup, mengunyah pelan tanpa suara, punggung tegap. Theodore kira awalnya itu hanyalah mimik saja. Ternyata Adrian makan seperti itu karena sudah kebiasaannya.

"Kau akan mati jika tidak berguna, Adrian."

"Aku kasihan padanya karena dia masih kecil!"

Theodore menyandarkan punggungnya dengan ekspresi lelah, "Apa lebih baik aku mengamuk saja dan membunuh semua orang di kota ini? Apa itu yang kau inginkan?"

"Kau bisa mencari alternatif. Kita bisa mengumpulkan omega-omega yang lebih rendah dan meminta mereka melayanimu bergiliran!"

"Kau berniat mengumpulkan berapa? 20? 30? Aku bukan ayahmu. Aku bukan seorang Axton. Aku tidak bisa membiarkan orang sebanyak itu terlibat denganku disaat-saat terlemahku."

Adrian meletakkan garpunya di meja. Makanan di piringnya telah habis. Cukup cepat, memang, tapi Adrian selalu mampu menyeimbangkan ketika ia makan dan bicara. Dia memang seorang pemakan yang baik. Dia bisa menyelesaikan makannanya tanpa orang sadar kalau dia sedang menghabiskannya. Adrian memegang gelas winenya dan menyempatkan diri untuk cheers dengan Gelas berisi jus jeruk milik Ana. Seolah-olah dia sedang tidak berada di argumen sengit dengan Theodore.

"Apapun lebih baik daripada menyentuh anak yang bahkan belum genap 15."

"Sungguh? Anak itu terlahir sebagai budak. Kau pikir dia itu masih polos? Tidak, Adrian. Dunia ini lebih kejam dan jahat daripada yang ditunjukkan ayahmu. Dan anak itu, anak itu tahu apa yang menantinya. Karena dia tahu cara melakukannya. Seks."

Adrian mengerit, "Kau mau menjadi orang yang menjijikkan seperti itu?"

"Lalu kau ada ide bagus? Apa kau mau menyerahkan bokongmu—"

Theodore berhenti ketika melihat Adrian memang wajah kesal sembari menurup telinga Ana. "Dasar cabul."

"Ah, sial. Sekarang kalian membuatku terlihat seperti orang jahatnya."

"Memang kau orang jahatnya." Sanggah Adrian. Dia menghela nafas kasar.

"Lalu bagaimana? Apa menurutmu lebih baik kita yang melakukan seks? Ini tugasmu sejak awal, kan."

"Lebih baik kau bunuh aku sekarang dan setubuhi mayatku, keparat."

"Baguslah kita benci satu sama lain." Theodore memgangguk. Dia kemudian melambaikan tangan kepada pelayan yang segera saja datang dengan membawakan tagihan mereka. Theodore membayar dengan cash, tentu saja. Tidak boleh meninggalkan bukti apapun tentang keberadaan mereka secara digital.

"Sial. Sebagian besar tagihan kita dari makananmu, Axton," Umpat Theodore, setelah menerima kembalian dari pembayaran yang dia berikan.

Adrian hanya melengos. Dia menarik tangan Ana pelan dan anak itu mengikuti Adrian dengan patuh. Pelayan itu tersenyum melihat mereka dan menunduk. "Anak dan pasangan anda benar-benar manis, tuan. Selamat datang kembali."

"Apa?"

Theodore terdiam dengan posisi sedang memasukkan dompet ke sakunya. Sementara pelayan itu sudah pergi dengan cepat, memegang nampan didadanya. "Apa jalang itu sudah gila?"

Adrian menarik lengan baju Theodore dengan jengah, "Sudahlah. Kau mau apakan gadis malang itu? Mari pergi."

Theodore menarik lepas lengan pakaiannya dari genggaaman Adrian, dan kemudian berjalan melewati Adrian dan Ana yang hanya berdiam melihat Theodore yang kesal karena disangka suami dan ayah dari mereka berdua.

Adrian paham kenapa banyak orang yang akan mengira mereka merupakan keluarga. Theodore dan Adrian memang sudah cukup umur jika dibanding Ana. Terlebih, Ana terlihat sangat dekat dengan Ana. Meski harga diri Adrian sedikit terluka karena disangka merupakan submisif, dia berusaha menerimanya dengan lapang dada. Theodore memang secara fisik lebih tinggi, berotot, dan mengintimidasi daripada dirinya.

"Kemana tujuan kita berikutnya?" Tanya Adrian.

"Venesia." Kata Theodore. "Aku punya rumah disana."

"Sungguh?" Adrian tampak kaget. Tidak percaya rasanya mengetahui bahwa orang yang selalu berpindah tempat tanpa henti itu ternyata punya rumah.

"Yah, aku menginap disana saat rutku menghampiri. Kemasi barang kalian dan jangan sampai aku dengar rengekan kalau kalian minta kembali karena kaus kaki kesayangan kalian tertinggal!"

Meski Theodore mengatakannya seolah-olah itu untuk Adrian dan Ana, Adrian tahu bahwa kalimat itu untuknya. Mengingat tempo lalu dia merengek ingin kembali ke penginapan karena kaus kakinya ketinggalan. Dia merengek seolah-olah dia akan mati tanpa kaus kaki itu, dan mereka terpaksa kembali lagi kesana demi mencari kaus kaki sialan itu.

Adrian tersenyum. "Tidak. Aku tidak akan begitu lagi. Kalaupun ada yang tertinggal, kita tinggal beli lagi." Adrian memamerkan kartu hitam milik Theodore didepan wajah Theodore dengan senyuman jenakanya.

"Daddy's have so much money for mommy to spend." Adrian berkata begitu didepan Ana, dan berlari dari hadapan Theodore ke kamar ganti mereka untuk mulai mengepak barang.

Theodore hanya berdiri diam disana. Masih dengan wajah dingin dan mengintimidasinya seperti biasa. Tetapi, kali ini, ada yang berbeda. Bibirnya kelu. Biasanya, dia akan mengejar Adrian dan membuatnya menyesal telah mengejek Theodore. Namun kali ini, ejekan Adrian tidak terlalu terdengar menyinggung.

Dia tidak marah.



You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: a day ago ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

THEODOREWhere stories live. Discover now