03. Prioritas

370 59 18
                                    

Di sebuah kapel yang tersembunyi terletak di pinggiran kota Seoul, Winter berdiri di depan altar kecil. Udara dingin merayap, menambah kekakuan suasana yang sudah sarat dengan ketegangan.

Di sampingnya, Karina tampak cantik dan rapuh dalam gaun sederhana berwarna putih gading. Wajahnya menyiratkan campuran antara kegugupan dan harapan.

Di bangku terdepan, Nyonya Irene, ibu Karina, duduk dengan pandangan cemas, sementara Tuan Suho, ayah Karina, menatap tegas namun penuh kerisauan. Mereka berdua adalah satu-satunya saksi dari pernikahan yang akan mengubah jalan hidup Winter dan Karina selamanya.

Pada awalnya Tuan Suho dan Nyonya Irene sangat menolak tegas pernikahan Karina dengan Winter. Pasalnya, Winter mengaku kalau ia sudah menikah dan telah memiliki anak sebelumnya. Tuan Suho takut hal itu akan menyakiti perasaan istri pertama Winter dan juga perasaan putrinya sendiri.

Namun, Karina bersikeras kalau Winter bisa bersikap adil, ia ingin membesarkan bayi yang di dalam kandungnya kini bersama Winter.

Mendengar kesungguhan Karina dan Winter, Tuan Suho terpaksa mengizinkan pernikahan mereka secara rahasia.

Winter menggenggam tangan Karina erat-erat, mencoba menyalurkan kekuatan dan keyakinan yang ia sendiri hampir tidak punya. Semua ini terjadi begitu cepat setelah Karina memberitahukan bahwa ia mengandung bayi mereka. Meski penuh keraguan, Winter tahu bahwa langkah ini adalah satu-satunya cara untuk bertanggung jawab atas keputusan dan perbuatannya.

"Aku tahu ini berat, tapi kita akan melaluinya bersama," bisik Winter kepada Karina sebelum upacara dimulai. Mata Karina berkaca-kaca, namun ia tersenyum tipis, cukup untuk meyakinkan Winter bahwa ia tidak sendirian.

Pendeta yang mengenakan jubah abu-abu memulai upacara dengan suara tenang namun tegas, memecah keheningan di ruangan kecil itu.

Janji suci diucapkan tanpa keramaian, tanpa sorak sorai, hanya diiringi ketukan pelan jantung mereka berdua yang berdegup tidak menentu. Saat cincin sederhana melingkar di jari Karina, Winter merasakan berat tanggung jawab yang kini melekat padanya.

Usai upacara, Nyonya Irene memeluk Karina dengan erat, seolah berusaha menenangkan kegundahan putrinya. Tuan Suho menatap Winter dengan sorot mata yang sulit diartikan—perpaduan antara kekhawatiran dan pengakuan diam-diam bahwa menantunya itu telah melakukan hal yang benar meski dengan banyak konsekuensi.




















Pada malam yang di selimuti kabut awan, Karina terbaring di kamar rumah sakit umum Kota Seoul, wajahnya pucat dan matanya basah oleh air mata. Setiap detik terasa begitu lama, rasa sakit menjalari ke seluruh tubuhnya saat kontraksi demi kontraksi semakin mendekat.

Di dalam hati Karina, ada gejolak yang lebih menyakitkan daripada proses melahirkan ini—kesadaran bahwa Winter, tidak akan ada di sampingnya.

Berita itu datang pagi tadi. Minju, istri pertama Winter dilarikan ke rumah sakit di Busan karena penyakit jantungnya kambuh.

Tanpa berpikir panjang, Winter memilih untuk pergi ke Busan menemani Minju, meninggalkan Karina di tengah perjuangannya sendiri. Keputusan itu membuat hati Karina terasa remuk. Ia tahu posisinya, ia mengerti bahwa sebagai Istri simpanan, prioritasnya tidak pernah diatas.

Saat rasa sakit puncak tiba, air mata Karina semakin deras. Hanya Nyonya Irene, ibunya, berdiri di sampingnya, menghapus air matanya dengan sentuhan lembut.

"Kamu kuat, Nak," bisik Nyonya Irene, meski suaranya bergetar oleh emosi yang tidak bisa disembunyikan.

Dengan jeritan terakhir, suara tangisan bayinya menggema di ruangan. Karina menatap bayi mungil yang diletakkan di dadanya, sejenak merasakan kehangatan bercampur dengan kesedihan. Bayi yang sehat itu diberi nama Kim Haerin.

Caught Between Two HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang