04. Gelisah

374 56 15
                                    

Winter, yang masih merasa bersalah karena tidak bisa menemani Minji hingga acara ulang tahunnya selesai, bersiap mengantar anak tersayangnya itu ke sekolah. Ia berdiri di depan pintu, memperhatikan Minji yang turun dari tangga dengan langkah berat.

Raut wajah Minji yang biasanya terlihat ceria, kini dihiasi ekspresi dingin dan kecewa.

"Ayo, sayang. Kita berangkat," ujar Winter dengan nada lembut, mencoba mencairkan suasana.

Minji hanya mengangguk tanpa sepatah kata pun keluar dari bibir mungilnya. Winter menghela napas panjang, menyadari bahwa hatinya tidak tenang melihat anaknya seperti ini.

Di dalam mobil, keheningan terasa menyesakkan. Winter beberapa kali mencuri pandang ke arah Minji yang duduk di sebelahnya dengan tangan terlipat di dada dan mata memandang lurus ke depan.

"Minji, Bubu minta maaf soal tadi malam. Bubu tahu kamu pasti kecewa," kata Winter dengan suara penuh penyesalan. Minji mengerucutkan bibirnya, tak menoleh sedikit pun.

Winter melanjutkan, berusaha keras membuat Minji mendengarkan. "Bagaimana kalau weekend ini kita pergi memancing? Hanya Bubu dan Minji. Seharian penuh di danau favorit kita."

Mata Minji sedikit bergerak, menyiratkan ketertarikan yang sulit disembunyikan. Namun, ia masih mempertahankan sikapnya. Winter tersenyum tipis, mengetahui ia telah menyentuh bagian lembut di hati Minji.

"Sungguh hanya kita berdua, Bubu?" tanya Minji pelan, matanya kini menatap Winter dengan harapan.

"Iya, Bubu janji," jawab Winter mantap sambil menganggukkan kepala.

Akhirnya, senyum kecil mulai terbit di wajah Minji, meredakan rasa bersalah yang selama ini menekan hati Winter. Di perjalanan menuju sekolah, perasaan hangat perlahan menggantikan kesunyian, dan Winter merasa lega karena setidaknya ia telah membuat Minji sedikit luluh.

Setibanya di sekolah, Minji turun dari mobil sambil membawa tas ranselnya. Ia memandang sejenak ke arah Bubu nya yang tersenyum, meski senyum itu tampak penuh rasa bersalah.

"Semangat ya, sayang," kata Winter lembut.

Minji hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia berbalik dan berjalan menuju gerbang sekolah tanpa menoleh lagi. Hati Winter terasa berat melihat Minji masih kesal. Ia berharap akhir pekan nanti bisa menebus kesalahannya dengan mengajak Minji memancing.

Langkah Minji melambat saat melihat kerumunan siswa di dekat pintu masuk. Di antara mereka, seorang gadis dengan seragam OSIS yang rapi berdiri dengan tangan terlipat di dada.

Itu Hanni, ketua OSIS yang dikenal tegas dan disiplin.

"Minji, tunggu," panggil Hanni dengan suara yang tegas namun tenang.

Dengan terpaksa Minji menghentikan langkahnya, matanya bertemu dengan tatapan tajam Hanni.

"Ada apa, Hanni?" tanya Minji dengan nada datar, mencoba menahan kesal yang sudah sejak pagi menggelayuti hatinya.

Hanni memandang Minji dari atas ke bawah.

"Sepatumu," ujarnya sambil menunjuk ke kaki Minji.

Sepatu putih yang Minji kenakan memang terlihat berbeda dari kebanyakan siswa lain yang mengenakan sepatu hitam sesuai peraturan sekolah. Minji menghela napas panjang, merasa makin kesal.

"Aku terburu-buru tadi," jawab Minji, berusaha menahan nada protes dalam suaranya.

Hanni menggeleng perlahan. "Peraturan sudah jelas, Minji. Semua siswa harus memakai sepatu hitam. Kamu tahu itu."

"Aku sudah bilang aku terburu-buru," ulang Minji, kali ini nada suaranya mulai naik.

Hanni tetap tenang, matanya tetap memandang Minji dengan tegas. "Lepas sepatumu sekarang, atau aku akan lapor ke guru BK."

Caught Between Two HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang