06. Dua Cincin

196 40 12
                                    

Langit pagi itu cerah, seolah menyambut Haerin yang akhirnya bisa meninggalkan kamar rumah sakit yang telah menjadi tempat tinggal sementaranya selama beberapa hari terakhir. Sinar matahari yang menembus jendela, terasa menghangatkan ruangan yang dingin oleh pendingin udara. Di tempat tidur, Haerin duduk bersandar dengan senyum tipis di wajahnya. Wajahnya yang sebelumnya pucat kini mulai berwarna, tanda kesehatannya perlahan kembali.

"Mama, hari ini kita pulang?" tanya Haerin sambil merapikan selimut yang melorot dari pangkuannya.

Karina, yang sedang duduk di sofa kecil di sudut ruangan, bangkit dengan senyum lega.

"Benar. Hari ini, sayang. Dokter sudah bilang kamu sudah boleh pulang. Mama sudah siapkan semuanya."

Karina, seorang wanita elegan dengan tatapan penuh kasih, tampak lebih cerah dari biasanya. Selama Haerin dirawat, ia hampir tidak pernah meninggalkan rumah sakit, meskipun pekerjaannya sebagai seorang model sering kali menuntut waktunya. Tapi tidak ada yang lebih penting dari kesehatan anaknya. Ia memilih cuti tidak mengambil beberapa project pemotretan demi merawat anak tersayangnya.

"Tapi, siapa yang akan jemput kita? Mama bilang mau pakai taksi saja tadi," ujar Haerin sambil memiringkan kepala.

Senyum Karina melebar. Ia belum memberitahu kejutan kecil yang telah ia siapkan.

"Kita tidak naik taksi, kok. Ada yang mau jemput kita. Tunggulah sebentar lagi, dia pasti datang."

Di lobi rumah sakit, seorang dengan rambut pendek yang sedikit acak-acakan berdiri sambil mengecek ponselnya. Winter, seorang sutradara yang terkenal karena kesibukannya di dunia perfilman, baru saja menyelesaikan syuting adegan penting semalam. Dengan mata yang sedikit lelah tapi berbinar, ia menanti momen untuk membawa pulang orang yang paling berarti dalam hidupnya.

"Maaf ya, aku telat," gumam Winter pada dirinya sendiri sambil melirik jam tangannya. Ia telah meninggalkan lokasi syuting lebih awal demi janji ini. Baginya, waktu bersama Haerin dan Karina adalah segalanya, lebih berharga daripada penghargaan atau film box office.

Ketika Winter masuk ke lantai tempat Haerin dirawat, ia melihat Karina dan Haerin sedang bersiap di depan kamar. Haerin yang masih mengenakan pakaian pasien terlihat ceria, sementara Karina sedang membetulkan syal di leher anaknya.

"Bubu!" seru Haerin begitu melihat Winter. Wajahnya yang tadinya tenang langsung berbinar penuh semangat.

Winter tersenyum lebar dan mempercepat langkahnya. "Hei, anak baik! Gimana rasanya hari ini bisa pulang?"

"Senang sekali! Aku kangen rumah. Kamar aku pasti berantakan, ya?" Haerin merentangkan tangan, meminta pelukan.

Winter tertawa kecil dan memeluk anak remaja itu erat. "Kamar kamu sih aman. Tapi Bubu kangen banget sama kamu. Syuting jadi tidak fokus karena kepikiran terus."

Karina, yang berdiri di sebelah mereka, hanya menyaksikan adegan itu dengan senyum lembut. Melihat interaksi penuh cinta antara Winter dan Haerin selalu membuat hatinya hangat.

"Ayo, kita pulang sekarang sebelum Haerin capek lagi."














*














Perjalanan pulang terasa begitu menyenangkan. Di dalam mobil, Haerin duduk kursi di tengah, sementara Bubu dan Mama nya di kursi depan. Sepanjang jalan, ia menceritakan hal-hal kecil yang ia alami selama di rumah sakit—bagaimana perawat selalu datang pagi-pagi sekali untuk memeriksa, makanan rumah sakit yang tidak seenak di rumah, dan bunga-bunga yang dikirim teman-temannya.

"Bubu, kapan kita jalan-jalan lagi? Aku pengen main layang-layang lagi bersama Bubu," pinta Haerin sambil memandang Winter penuh harap.

"Sebentar lagi, ya. Bubu perlu menyelesaikan beberapa adegan lagi project film saat ini, habis itu kita bisa bersenang-senang sepuasnya," jawab Winter sambil melirik Haerin dari spion dalam, ia tersenyum dengan penuh sayang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Caught Between Two HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang