Bastian berjalan menghampiri sebuah meja besar di salah satu pojok kafe tempat dirinya sepakat menghabiskan waktu malam ini bersama dengan kedua sahabatnya. Kehadirannya itu sontak segera ditemukan oleh Rafael yang sejak tadi asyik mengobrol sembari menyantap kudapan ringan di atas meja.
"Bas, beneran dateng lo?" tanya Rafael menyambut Bastian yang mengambil tempat di hadapan laki-laki itu.
"Ya beneran lah," jawab Bastian sembari mencuri tahu goreng di atas meja tanpa tahu siapa pemiliknya. "You call, I come."
"Najis," sahut Bintang mencemooh. "Katanya lo mau tidur aja di kos."
"Ah, kagak enak ternyata. Sejak kapan gue malming di kosan sendiri."
Bastian melepaskan jaket denim berwarna hitam yang ia kenakan ke sini untuk menghalau angin malam di kota Jakarta yang sudah mulai disambut musim hujan.
Seorang pelayan datang menghampiri meja ketiga pemuda tersebut setelah Bastian mengangkat tangan untuk memesan hidangan sebagai teman bercelotehnya.
"Udah lama lo berdua di mari?" tanya Bastian setelah selesai memesan. "Pewe juga nih kafe."
"Tanya dong siapa yang milih tempatnya." Rafael memamerkan deretan giginya, bangga.
"Cewek lu paling."
"Ngeledek lu."
"Lo pasti kaget sih, Bas," balas Bintang menyahuti. "Very unexpected."
Bastian tak menjawab, ia justru hanya menaikkan sebelah alisnya meminta Bintang untuk segera menyelesaikan kalimatnya itu.
"Dospem Rafael."
"Anjing? Serius lu?" Bastian membuka mulut dengan ketua mata melebar.
"Limarius gue jabanin." Bintang mengangkat tangan kanannya, membentuk angka lima di udara.
"Kok bisa sih? Maksudnya... lo selama ini chatan sama dia, El?" Bastian menatap Rafael tak percaya.
"Justru lebih dari itu!" Bintang menyahut heboh. "Mereka bimbingan di sini, Cok. Nih temen lo baru selesai bimbingan tadi sore. Makanya tiba-tiba ngechat kita buat ke sini, kan."
"Anjing," umpat Bastian lagi.
Raut wajahnya sudah tak dapat dikendalikan menemukan fakta bahwa sang sahabat menghabiskan waktu bimbingan tugas akhirnya di kafe ini bersama dosen pembimbing yang sudah menjadi bahan obrolan mereka sejak memasuki tingkat akhir perkuliahan.
Bagaimana tidak? Dosen pembimbing Rafael itu merupakan salah satu dosen muda di Fakultas Hukum tempat mereka melaksanakan studi masing-masing. Ketiganya bahkan sempat berdebat hanya demi mendapatkan sang dosen sebagai pembimbing tugas akhir di awal semester lalu.
"Eh, gacor dah lo bisa deketin Kak Raisha."
Bintang tertawa melihat ekspresi terkejut dari Bastian saat ini. Sikunya menyenggol Rafael tiba-tiba. "Kasih tau yang lain, El."
"Apa lagi anjing?" Bastian menyalak mendengar ada kabar lain yang belum ia ketahui.
"Gue mau sempro bulan depan," tutur Rafael memberitahu. "Kata Kak Raisha bab satu gue udah bagus buat lanjut sempro."
Entah bagaimana aturan di universitas lain, namun khusus bagi mahasiswa Fakultas Hukum di universitas ketiganya, tahap seminar proposal sudah dapat dilakukan setelah mereka menyelesaikan bab pertama dalam tugas akhir. Oleh karena itu, kabar Rafael barusan sudah tak lagi mengherankan untuk didengar meski semester ini baru dimulai sejak dua bulan lalu.
"Oh," jawab Bastian mengangguk biasa.
Kedua sahabatnya itu langsung terdiam begitu melihat jawaban yang diutarakan Bastian di hadapan mereka. Bukan mimik terkejut seperti tadi, melainkan anggukan kecil biasa yang dilontarkan Bastian untuk menanggapi kabar baik dari Rafael.
"Oh doang?" Rafael lebih dulu membuka suara.
"Tuh kan, gue udah ngerasa Bastian aneh semenjak kita masuk skripsian, anjing." Bintang berseru heboh. "Kok lo beda gini sih Bas? Lo itu ya, apa tuh? Depresi karena skripsi?"
"Hah, kagak," sela Bastian menggeleng cepat. "Skripsi gue aja belum mulai."
"DEMI APA?"
"Wah kasus."
"Ya ngapain sih gue bohong sama lo berdua," decak Bastian. "Belum, belum mulai. Belum kepikiran judulnya apa malah."
"Deg," Rafael menjawab, "Gue syok berat, Ntang."
"Duain."
"Congrats, El. Nanti gue ikut tungguin lo kelar sempro dah biar kayak orang-orang."
"Halah, kagak butuh gue begitu-begitu." cegah Rafael buru-buru. "Mending gue ngeliat lo sibuk skripsi sampe gak sempet ngasih gue bunga buat sempro."
"Tau, Bas. Lo cerita aja sih kalo ada apa-apa, tuh. Jangan dipendem sendiri apalagi udah sisa satu semester lagi gini. Mana kita semua juga sama-sama anak rantau. Emang lo ada keluarga di sini? Kagak kan."
Celotehan Bintang sekali lagi membuat Bastian terkekeh geli. Ia memang menjadi sosok yang paling perhatian dalam pertemanan ketiganya. Tak heran bila Bintang menjadi orang pertama yang selalu tahu kabar masing-masing dari mereka.
"Iye anjing, Bas. Gue serius merinding nih liat lo kagak semangat kuliah. Tumben-tumbenan."
"Udeh napa lo berdua. Gue serius kagak ngape-ngape anjir."
"Lo pada udah dinner belum? Sekalian aja yok di sini. Gue yang traktir dah itung-itung lo mau sempro, El," lanjut Bastian sebelum langsung pergi begitu saja menghampiri konter kafe untuk memesan makan malam ketiganya.
[]
Lee Jong-suk as Rafael
Jung Hae-in as Bintang
KAMU SEDANG MEMBACA
A Beautiful Blur
FanfictionMereka bertemu begitu saja, seperti warna senja yang berbaur tanpa batas jelas. Hubungan itu tumbuh pelan-pelan, tanpa rencana atau ekspektasi-hanya ada rasa nyaman yang muncul alami. Setiap senyum, tawa, dan pandangan diam-diam menciptakan momen ya...