Pagi telah tiba ...
Masakan khas untuk membangkitkan semangat kedua nak pun akhirnya aku lakukan, ini merupakan sebuah makanan sudah lama tidak di masak akan tetapi dengan menggunakan bahan yang sangat sederhana pasti semua suka. Aku pun telah bangun lebih awal, kemudian mengikat rambut menggunakan tali rafia untuk segera menyentuh masakan tersebut.Tak berapa lama putri kesayangan ke luar dari dalam kamar masing masing dan masuk ke dalam kamar mandi, secara bergantian keduanya sangat akur dan tidak mau saling dorong. Sejak kecil keduanya sudah di ajarkan sebuah etika dan moral oleh suami, walau pun sekarang suami telah berubah sangat jauh dari seperti apa yang aku bayangkan.
Seraya menyentuh kanaya, kami pun saling tukar tatap satu sama lain. Aku yang keseharian adalah wanita karir, sekarang harus pergi ke kantor sebentar. Pasalnya, nanti siang aku akan permisi pulang lebih awal oleh bos karena sudah berjanji pada Gisel akan pergi ke salah satu tempat yang dia ingin tunjukan padaku. Sekarang kanaya tampak sangat cantik, rambutnya panjang dan kulitnya mulus seperti aku.
Kami pun saling tukar tatap satu sama lain, kanaya seketika menitihkan air mata entah apa yang sedang dia alami. Kemungkinan kalau kanaya seperti itu, tengah sedih atau bahkan sedang patah hati. Aku pun menyentuh kedua pipinya, yang mengalirkan air mata. Kemudian sang anak langsung memeluk tanpa berkata sedikit pun, rasa penasaran akan semua ini membuat aku begitu ingin sekali ingin tahu.
"Kamu kenapa sayang?" tanyaku dengan bada suara sangat parau.
"Gak ada ma, aku hanya sedang patah hati aja. Ternyata Kelvin mendua di belakang aku," paparnya sembari memeluk aku sangat erat.
"Sudahlah sayang ... kamu harus fokus sekolah dulu ya, jangan pikirin cinta. Kalau kamu udah sukses, siapa yang gak mau sama kamu. Kamu itu cantik, jadi gak perlu pertahankan lelaki yang seperti Kelvin," jawabku seraya mengelus rambut sang putri.
"Hmm ... andai saja aku punya mobil pribadi, pasti gak ada yang mengejek aku di luar. Papa kapan sih, belikan aku kendaraan sendiri? Tiap hari pergi sama adik terus, semua sahabat menertawakan aku ma," jawab kanaya, terisak tangis.
"Sabar sayang, kamu itu kan udah pernah mama berikan nasihat. Kalau Papa pulang, pasti akan turuti apa pun yang kamu mau. Sekarang, mandi dulu gih biar kami gak telat pergi sekolah," suruhku, dan kanaya pun masuk setelah Jessica ke luar kamar mandi.
"Ma, kak kanaya kenapa ya? Kok, seperti lagi nangis gitu?" tanya Jessica penasaran.
"Gak ada sayang, ini masalah anak SMA. Kamu pakai baju dulu ya sayang, biar mama masukin yang enak enak buat kalian berdua," paparku, lalu Jessica pun masuk ke lantai dua kegirangan.
Seraya menggelengkan kepala, aku kembali melanjutkan untuk masak. Hari demi hari aku melakukan aktivitas ini, sejak bi ira tidak ada dan mbok Lastri juga gak ada. Sekarang semua pekerjaan akan aku ambil alih, termasuk membesarkan kedua anak tanpa mas Bram. Suami selalu mengirimkan uang dan biaya sekolah, selebihnya aku yang mengantar keuangan.
Tak berapa lama ponsel milikku berdering, aku mengambil ponsel tersebut dan menatap secara saksama ponsel tersebut. Ternyata itu adalah panggilan dari bi ira, pembantu rumah tangga yang sudah hampir dua minggu tidak kembali, kemungkinan dia akan kembali lagi bekerja seperti bisanya. Aku dapat menebak semua itu, dan dengan sangat penuh kegembiraan aku mengangkat ponsel.
[Hallo, Bi Ira, kapan kembali lagi? Aku kangen banget loh sama bibi. Anak anak juga, mereka selalu tanyain bibi kapan kembali lagi ke rumah ini.]
[Iya nyah, ini masih di jalan. Bibi akan kembali entar malam. Apakah bibi masih boleh bekerja di saja lagi, soalnya bi Lastri pun akan datang juga malam ini katanya.]
[Ya ampun ... ya boleh lah bibi. Mami pun selalu menantikan untuk bibi datang ke sini, lagian kanaya juga butuh tempat curhat katanya. Kan bibi tahu sendiri kan, kalau saya ini kerja sampai malam dan dia gak ada yang dengar setiap kali mau curhat.]