Pindah

1 0 0
                                    

Melani, wanita paruh baya itu, kini menyeret satu koper besar ke dekat taksi yang terparkir di depan rumah mereka.

“Jena, cepat sayang!” teriaknya.

Jena, yang masih berada di dalam rumah, segera menyusul dengan menyeret koper kecil miliknya. “Iya, Ma!”

“Sini-sini, cepat! Astaga, lama sekali sih!” Melani langsung mengambil alih koper Jena dan memberikannya kepada sopir taksi agar dimasukkan ke dalam mobil.

“Ayo masuk,” kata Melani sambil membuka pintu belakang mobil.

Jena menahan tangan ibunya. “Ma, bentar dulu.”

“Kenapa lagi, sayang? Nanti kita ketinggalan pesawat!” jelas Melani, sambil melirik arloji hitamnya.

“Pacar aku belum datang,” bisik gadis itu, matanya melirik ke segala arah menanti kedatangan Owen.

Melani menghela napas, lalu mengelus punggung Jena. “Kayaknya dia masih kerja, Jen. Sudah ayo.”

Jena menghela napas berat, menatap jalan dengan penuh kesedihan. Hari-hari terakhir di Jakarta, dia malah tidak bisa bertemu dengan pacarnya sebelum menjalani hubungan jarak jauh.

“Udah, ayo.”

Jena mengangguk, lalu mengikuti Melani memasuki taksi. Dalam diam, dia berharap Owen akan datang dan mereka bisa berpamitan. Namun, sepertinya itu sangat mustahil. “Pasti sekarang dia sibuk kerja,” gumam Jena lirih.

Terlarut dalam pikirannya, tiba-tiba sopir taksi menghentikan mobil dengan mendadak. Kedua perempuan di kursi penumpang itu terkejut dan hampir terjepit ke belakang.

Melani segera mengulurkan tangannya, mengecek keadaan Jena di sampingnya. “Kamu nggak papa, sayang?”

“Nggak papa, Ma.”

“Kenapa, Pak? Kok tiba-tiba berhenti?” tanya Melani dengan nada kesal.

“Itu, Bu, di depan tiba-tiba ada motor yang berhenti,” jawab sopir itu sambil menunjuk ke arah depan.

Jena langsung beralih menatap ke depan. Saat sang pemotor membuka helmnya, dia tergerak untuk membuka pintu taksi, yang kebetulan berada di pinggir jalan, dan segera berlari menuju cowok itu.

Saat Owen, laki-laki berusia dua puluh satu tahun itu, baru turun dari motor, Jena langsung menubruknya dengan pelukan. “Aku kira kamu nggak bakal nyusul aku!”

Owen tersenyum dan mengurai pelukan Jena, gadis yang telah menjadi pacarnya selama setahun, sejak Jena berusia enam belas tahun. “Masa bocil aku mau pindahan, aku nggak berangkatin?” Owen bergurau, sambil mencolek hidung Jena.

Jena menunjukkan tatapan matanya yang berkilau, lalu kembali memeluk Owen. “Janji sama aku, kamu jaga hati di sini?”

“Ingat aja, aku tetap milik kamu,” Owen menjawab dengan lembut, menarik kening Jena sebelum mengecupnya.

Keduanya terkejut saat sopir taksi menekan klakson. “Yaudah sana, nanti ketinggalan pesawat,” kata Owen. Jena mengangguk dan berjalan meninggalkan Owen.

“Owen!” panggil Jena ketika dia masih setengah jalan. Owen menaikkan satu alisnya, memegang helm yang akan dipakainya.

Jena tersenyum malu. “I love you, Owen,” ujarnya sebelum berlari memasuki mobil. Owen tersenyum kecil dan melambaikan tangan saat taksi yang ditumpangi Jena melaju menjauh.

Di dalam mobil, Jena tak berhenti tersenyum mengingat momen cium kening dan pelukan tadi.

“Yang lagi jatuh cinta,” sindir Melani.

“Ish, Mama, kayak nggak pernah tua aja!”

“Emang belum tua.”

“Ihhhh,”

---

Setelah perjalanan panjang, kini Jena dan ibunya tiba di rumah baru mereka di Bandung.

“Beresin barang kamu ya, Mama mau ke kamar istirahat,” kata Melani, sambil menarik kopernya ke kamar.

Jena menaiki tangga menuju lantai dua, menggendong koper kecilnya.

Ceklek

Bruk!

Gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur, lalu merogoh handphone dari saku jeansnya.

Jena

“Aku udah sampai. Ingat, jangan nakal ya!”

“Aku ngambek nanti, pokoknya!”

Jena tersenyum geli melihat pesan yang ia kirimkan kepada Owen, lalu segera membereskan barang-barangnya.

---

Tak terasa, sudah dua hari Jena di Bandung dan kini ia akan kembali masuk sekolah.

Jena mengambil roti, mengoleskan selai kacang, lalu menikmatinya sambil meminum susu buatan ibunya. “Ma, Jena berangkat ya.”

Melani, yang masih berada di dapur, sedikit menghampiri Jena. “Hati-hati ya.”

Jena mengangguk, mencium pipi ibunya, lalu segera pergi.

Bandung 21 High School

Jena turun dari bus dan melangkah memasuki gerbang sekolah. Meski ada rasa tidak nyaman, ia berusaha tetap tenang di antara tatapan aneh yang menghampirinya di sepanjang koridor.

Setelah beberapa kali berputar-putar, akhirnya seorang guru mengantarkannya ke kelas.

Jena duduk di bangku kedua, di samping seorang gadis berwajah jutek. “Hai, gue Jena,” ucap Jena hati-hati, sambil mengulurkan tangan.

Gadis itu tak mengubah pandangannya, tetap menatap ke depan. “Nita,” ujarnya datar.

Jena mengangguk, menarik tangannya yang tidak dibalas. “Salam kenal,” cicit Jena. Ia harus lebih akrab dengan teman sebangkunya ini.

---

“Nit, boleh bareng ke kantin?” Jena bertanya hati-hati ketika Nita hendak meninggalkan bangku mereka.

Nita menoleh sebentar. “Kita nggak kenal!” ujarnya, kemudian melangkah pergi, meninggalkan Jena yang tertegun.

“Sombong banget, bjir!” kesal Jena, lalu kembali duduk di bangkunya.

Jena menggerutu, merasa jengkel dengan Nita. “Kita nggak kenal katanya? Ya sudah, makanya gue ajak bareng, biar bisa kenalan kali.”

Drrttt

Jena mengambil handphone dari tas, melihat pesan dari Owen.

Seng!

“Yes, baby girl.”

Jena tersenyum melihat balasan pesan pacarnya dari Jakarta. “Ihh, aku masih kesal ya! Kamu baru balas sekarang?!”

Tak ingin membalas pesan tersebut, suara notifikasi kembali terdengar.

Seng!

“Maaf ya, Cil, baru balas. Kemarin dan semalam sibuk banget. Abang sampai capek, pengen peluk bocil :(*”

Tak!!

Jena meletakkan handphone-nya kasar, tidak bisa mengontrol rasa saltingnya. “Anjir!!! Bisa meleyot gue, Tuhan!”

Jena melirik handphone-nya lagi, lalu meletakkannya kembali. “NGGAK BISA!!!! Dia kalau sudah panggil Abang, berarti mau manja-manja. Arghhh, mau balik ke Jakarta!!!”

---

Terjebak Dalam Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang