Jena akhirnya memberanikan diri pergi ke kantin sendirian, lebih baik daripada mati kelaparan di kelas.
“Mpok, nasi goreng satu ya!” seru Jena kepada ibu kantin.
“Iya, neng!” jawab si ibu dengan senyuman.
Setelah menunggu beberapa saat, pesanan Jena pun tiba. Ia segera mencari tempat duduk di tengah keramaian.
“Nita lagi, Nita lagi…” Jena mengerutkan dahi melihat Nita yang asyik makan bakso di dekat dinding. "Masa iya, gue tertolak lagi?"
Dengan tekad, Jena melangkah menuju Nita dan langsung duduk di depan gadis itu. “Bodo amat! Lo mau temenan sama gue atau enggak, yang penting gue mau duduk di sini, titik!”
Nita hanya mengerjap, tampak terkejut mendengar deretan kalimat yang keluar dari mulut Jena. “Terserah,” jawabnya datar.
Jena mendengus, lalu segera menyantap nasi gorengnya.
Setelah beberapa suapan, ia kembali menatap Nita yang tampak tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk kantin. “Nit, lo ken…”
Tiba-tiba seorang gadis berkuncir kuda menyela, “Kak, boleh ikut gue bentar?”
Jena mengernyit bingung. “Gue?” tanyanya.
“Iya, kak! Ikut gue bentar, soalnya penting banget!”
Jena melirik Nita, yang tampaknya tak peduli, lalu kembali menatap gadis itu. “Penting banget? Gue lagi makan, sorry?”
Tanpa peringatan, gadis itu menarik Jena, mendorongnya pergi dari kantin.
“Ya nggak usah ditarik juga! Astaga!” Jena kesal, menarik kembali tangannya. “Maaf, kak, ini penting banget,” ucap gadis itu.
“Ya tahu penting, tapi nggak gitu juga kali,” jawab Jena tak sabar.
“Yaudah mau kemana? Biar gue aja yang pergi sendiri,” sambungnya.
“Ruang les kesenian, kak.”
Tanpa curiga, Jena berjalan menuju ruang kesenian yang kebetulan ia lewati sebelum menemui kepala sekolah pagi tadi.
Setibanya di sana, Jena disambut dengan suara lantang, “Per…!”
“Welcome to the Geng Ciwi-Ciwi, penakluk sekolah ini!” Suara itu membuat Jena terkejut saat pintu ditutup keras di belakangnya. Ia bingung, merasa tersesat di tengah empat gadis cantik yang menghampirinya.
“Jena, right?” tanya salah satu gadis, Rinda. Jena mengangguk.
Rinda mendekat dan menarik tangan Jena untuk duduk di bangku yang berderet di depan. “Sini dulu, Jen.”
“Ini kenapa ya?” Jena merasa bingung, menatap keempat cewek yang kini melingkar di depannya.
“Gue ada sal…” Rinda langsung memotong kalimatnya saat Rinda menutup mulut Jena dengan telunjuknya. “Sssttt! Jangan bicara dulu! Tunggu ketua kita yang angkat bicara!”
“Gue Rinda, samping gue Nina, yang di samping lo Lusy, dan yang di depan kita, queen… Puput!” jelas Rinda.
“Lusy, Nina kalian aja yang lanjut! Gue udah habis tenaga dari tadi bicara ini itu sama orang yang beda-beda,” ucap Rinda dengan nada jenuh.
Lusy memutar bola matanya malas. Sejak dua tahun lalu, ia sudah malas meladeni drama-drama di lingkaran persahabatan mereka. “Malas gue.”
“Gue juga, Rin. Malas dari tadi cuman ladeni kek gini. Kapan kita masuk kelas?” sahut Nina.
Rinda menatap kesal pada keduanya. “Yaudah, keluar lo pada dari geng ini, anjir!”
“Ck, itu mulu ancamannya,” sahut Lusy dengan sinis.
“Udah-udah! Malah jadi ribut gini!” Puput akhirnya membuka suara. “Lo, Jena! Lo harus terima tantangan dari kita! Dari tadi nggak ada yang berhasil, anjir! Sekarang lo yang harus lakuin!”
Jena mengerutkan kening. “Sorry, gue sibuk.”
Mendengar itu, Puput langsung berdiri dan mendekati Jena. “Lo nggak kenal gue?”
Jena menggeleng, membuat Puput dan ketiga sahabatnya tertawa. “Kenalin, gue Puput. Anak dari pewaris sekolah ini. Dan gue mau lo ikutin apa yang gue bilang ini!”
Jena semakin bingung. “Boleh nggak usah basa-basi? Gue udah nggak sarapan karena ditarik tadi.”
“Jena!” Rinda kembali menutup mulut Jena, dengan jari telunjuknya.
Demi apapun, Jena sangat membenci gadis itu!
“Queen nggak suka dipaksa,” kata Rinda.
“Oke, lanjutin! Gue harus lakuin apa?” Jena akhirnya menyerah.
Puput mengangguk, lalu kembali duduk. “Gue mau lo deketin Daniel, dan buat jiwa homonya keluar dari dirinya. Setelah dia mulai jatuh cinta sama lo, lo tinggalin. Paham?” jelas Puput.
“Kenapa bukan lo?” Jena bertanya.
Puput yang kembali duduk tadi, langsung berdiri lagi, menatap tajam Jena. “Nggak usah belagu ya, anak baru! Gue bisa bilang papa gue keluarin lo dari sekolah ini! Intinya, lo harus lakuin itu! Gue kasih waktu dua puluh delapan hari!”
“Ayo cabut! Bisa naik darah gue kalau lihat muka kampungnya si belagu ini!” seru Puput, kemudian meninggalkan Jena.
Sebelum pergi, Rinda membisikkan sesuatu pada Jena, “Jangan macam-macam sama queen.”
Jena menahan gejolak marah di hatinya. Baru masuk, sudah diperlakukan seperti ini, apalagi satu tahun ke depan?
“KALAU LO GAGAL, ORANGTUA LO JUGA IKUT MERASAKAN NYA!” teriak Puput sebelum menutup pintu dengan keras.
Jena mengerjap heran, tak tahu apakah yang barusan berbicara dengannya itu manusia atau bukan. “Sinting,” gumamnya.
---
Jena menjatuhkan tubuhnya di kasur, masih mengenakan seragam sekolah. Hari ini tidak ada yang menyenangkan baginya.
Ia meraih handphone dan melihat belum ada pesan dari Owen, pacarnya.
Seng!
Jena menggeleng, lalu menghapus pesan yang hendak ia kirim. “Mungkin nanti malam,” gumamnya sambil menatap langit-langit kamar. Setelah pindah dari Jakarta, Jena merasa sedikit kesepian. Dulu, Owen sering mampir ke rumahnya sepulang bekerja, tapi sekarang? Jena tidak mendapatkan itu di Bandung.
“Daniel?” Jena langsung duduk tegak, pikirannya melayang entah siapa Daniel itu. “Dia siapa sih? Kok harus gue yang berurusan?”
“Lagipula, dia homo, apa urusannya sama gue?” Ia bingung.
Jena memutuskan untuk tidak ambil pusing dan berdiri untuk membersihkan badannya. “Bodo amat!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Dalam Hujan
Teen FictionJena sedang menjalani hubungan LDR dengan pacarnya di Jakarta. Demi menjaga pekerjaan ibunya, ia terpaksa menerima tantangan dari Puput untuk membuat Daniel-pacar Puput-kembali tertarik pada perempuan setelah berbagai stigma buruk yang Daniel terima...