Perjalanan Menuju Portal

11 1 0
                                    

Mobil meluncur mulus di jalanan berkelok yang diselimuti bayangan pohon-pohon rindang di kiri dan kanan. Cahaya senja yang menjingga menelusup melalui celah dedaunan, menciptakan kilasan warna di kaca depan. Queena duduk di kursi samping kemudi sambil menganggukkan kepala mengikuti irama musik dari mp3 player di depannya. Di belakang, Ryn sibuk mengunyah camilan, sementara Eysh terlelap di sebelahnya. wajahnya begitu damai setelah kelelahan akibat bernyanyi dan bercanda sepanjang perjalanan. Sedangkan aku, duduk di belakang kemudi, sesekali melirik ke luar kaca, menikmati pemandangan sembari turut mendengarkan alunan musik tanpa sepenuhnya melonggarkan fokus pada jalan curam di depan.

"Masih jauh?" Aku melirik ke spion tengah demi mendengar Ryn bertanya dengan suara tidak jelas karena mulutnya masih penuh dengan makanan.

Queena yang menjadi pemegang Maps sekaligus satu-satunya orang yang tau jalan menuju lokasi tujuan kami menggeleng singkat. "Sebentar lagi."

Lalu, dia kembali menenggelamkan diri menikmati musik sembari melemparkan pandangan ke luar kaca mobil.

Sudah lebih dari tiga jam kami berkendara menyusuri jalanan di lereng gunung yang curam ini. Hari ini Queena mengajak kami ke sebuah tempat yang katanya indah bernama Negeri Atas Awan. Wanita pecinta langit yang seminggu lalu baru saja bertambah umur itu ingin menikmati sunset di sana dan meminta kami menemaninya. Tentu saja sebagai sahabat, kami dengan senang hati mengiyakan.

Namun, aku sama sekali tidak menyangka jika perjalanannya akan selama ini. Kami berangkat dari siang dan sampai hari menjelang petang, belum juga ada tanda-tanda kami akan sampai. Untung saja, meskipun akhir pekan, tetapi jalanan yang kami lewati tidaklah ramai. Justru sangat sepi hingga hanya ada satu dua kendaraan yang berpapasan dengan mobil kami.

"Bener nggak, sih, jalannya?" Ryn bertanya lagi. Nampaknya dia juga mulai tidak sabar.

Queena mengangguk yakin. "Bener. Jalannya cuma ini, kok."

Aku yang sedari tadi hanya diam pun tak urung ikut menimpali. "Kamu, kan belum pernah ke sana, tau dari mana kalau jalannya cuma ini?"

Queena memutar bola mata malas. Sepertinya dia mulai terpengaruh dengan pertanyaanku yang terkesan meragukannya. "An, aku sudah lama ingin ke sana. Tentu saja aku sudah mencari tau banyak hal tentang tempat itu, termasuk rute untuk ke sana. Udah, percaya sama aku, sebentar lagi kita sampai."

Well, baiklah jika dia sudah berkata begitu. Kita percayakan saja perjalanan ini pada sang penunjuk jalan. Aku juga tidak ingin berdebat dan membuat suasana hatiku menjadi buruk. Pengendalian emosiku memang agak kurang baik, terutama jika mood-ku terusik.

Hari semakin petang dan jalanan semakin sepi. Bahkan kini tinggal kendaraan kami yang melintas di jalan ini. Hanya ada suara mesin yang beradu dengan alunan musik dan desiran angin di luar. Sepertinya Queena salah memperhitungkan waktu perjalanan karena jelas rencana kami untuk menikmati sunset sudah dipastikan gagal. Pasalnya, sinar matahari terakhir baru saja lenyap dari cakrawala. Malam telah sempurna melingkupi semesta. Queena terlihat kecewa. Itu jelas nampak dari raut wajahnya yang ditekuk saat ini.

Gadis berambut pirang itu masih sibuk dengan Maps di ponselnya, meski kini ekspresinya mulai berubah. Matanya menyipit, dan jarinya beberapa kali menggeser layar, seolah memastikan sesuatu.

"Beneran yakin ini jalannya?" Ryn kembali bersuara. Kali ini tanpa mengunyah jajanan.

"Ya—kin,” jawab Queena tersendat. Nada suaranya jadi terdengar kurang mantap.

Aku melirik spion tengah, melihat wajah Ryn yang berubah cemas.

"Jalanan ini... rasanya terlalu sepi," gumamku sembari melirik Queena. Aku menekan pedal gas perlahan, mencoba menepis kegelisahan yang mulai menjalari pikiranku.

Tidak ada tanda-tanda kendaraan lain selain kami. Bahkan suara burung pun lenyap, meninggalkan kesunyian yang membuat telinga berdengung. Di langit, awan-awan berat menggantung dan bergumpal-gumpal dengan bentuk aneh, seolah berpusar perlahan seperti hendak menarik sesuatu ke tengahnya.

Jalan di depan semakin gelap, hanya diterangi lampu mobil yang terasa tidak cukup menjangkau kelok-kelok curam.

"Anne, pelan-pelan bawa mobilnya,” kata Queena tiba-tiba. Tangannya dengan erat mencengkeram sabuk pengaman sembari menatap horor jalanan pekat di depan.

Aku mengerutkan dahi, merasa terganggu oleh nada waspada di suaranya. Gerak-geriknya yang aneh mempengaruhi emosiku. Tanpa sadar aku justru menginjak gas lebih dalam dan melajukan mobil dengan lebih cepat. Tentu saja aku tau kalau ini berbahaya, apalagi jalanan di sini tidak dilengkapi lampu penerangan. Hanya sorot lampu mobil yang menjadi pemandu kami menyusuri jalan. Namun, aku terlanjur hilang kendali.

Sepintas kudengar ada suara aneh di bawah mobil, seperti kerikil yang menghantam sesuatu. Namun, dengan mood-ku yang buruk saat ini, aku mengabaikannya, berpikir itu hanya jalanan yang tidak rata. Namun, rasa gelisah semakin kuat menyelusup, terutama ketika kegelapan di depan tampak begitu pekat, seolah menelan cahaya lampu mobil kami.

"Anne, hati-hati." Queena kembali mengingatkan.

Benar saja, jalanan agak menurun dan aku kurang waspada hingga salah mengambil arah ketika jalan berbelok tajam di depan. Refleks aku menginjak rem dan membanting setir ke kanan. Tetapi, terlambat. Mobil yang kukendarai terlanjur menabrak pembatas jalan. Alhasil mobil kami meluncur tanpa kendali ke dalam jurang.

"Aaaaaaaa ...." Kami berteriak saat mobil meluncur bebas sambil beberapa kali menghantam pohon dan terguling.

"Ya Tuhan, Anne...." Eysh yang terbangun karena benturan berkali-kali menjerit panik.

"Apa kau akan membawa kami berlibur ke surga?" sarkas Ryn di tengah situasi antara hidup dan mati. Selera humornya benar-benar mengerikan.

Entah sudah berapa kali kepalaku terbentur setir dan dashboard mobil, bahkan kaca jendela di sampingku sudah pecah dan serpihannya mengenai wajah dan tubuhku.

Begitu mobil berhenti berguling barulah kurasakan seluruh tubuhku terasa remuk. Aku bahkan sudah tidak begitu menghiraukan teman-temanku yang entah bagaimana keadaannya. Yang jelas tak lama setelah itu, aku melihat samar-samar cahaya biru keunguan yang berputar di depan sana. Cahaya itu seperti pusaran angin, memancar lembut namun kuat, membentuk lingkaran yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Tak sempat aku memperhatikan cahaya itu lebih lama, dengan cepat pandanganku mengabur, kesadaranku perlahan pudar, dan akhirnya gelap.

***

NEMOROSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang