Albir Danadyaksa, cowok berusia 23 tahun dengan segala sikapnya yang begitu bar-bar, bebas dan brutal, bisa dibilang cowok yang satu ini "Biang Masalah". Ada alasan kenapa dia bisa bersikap sebrutal itu.
Sedangkan seorang cewek bernama Feya Mahreen...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Seperti biasanya, Fey akan bangun lebih terlambat dari waktu yang ditetapkannya di alarm. Gadis itu sangat terkejut saat jam beker di atas meja nakas sudah menunjukkan pukul 06.40 AM. Dengan gerakan kilat Fey meraup baju seragamnya yang ia letakan di atas kursi belajar.
Dakkk!
"Ahh! sial! sial!"
Fey meloncat-loncat kecil, kaki sebelah kanannya tidak sengaja menendang meja kaki, dan itu terasa sangat nyeri. Wajahnya meringis menahan sakit. Sial! batinnya kembali mengumpat kesal. Setelah memakai baju seragamnya asal, Fey segera turun ke bawah.
Akan tetapi tak berselang lama ia kembali naik ke lantai dua masih dengan umpatan-umpatan kekesalan yang tiada tara. Rupanya ia lupa memakai celana training yang selalu dipakainya sebagai dalaman dari rok seragamnya. Ingin rasanya saat ini ia menyingkirkan semua benda yang menghalangi jalannya, hatinya jengkel bukan main.
Saat sudah berada di bawah, ia celingukkan karna tak menemukan satu orang pun di rumah. Hal itu sudah biasa baginya, karna di rumah ini memang hanya ada dua orang yang tinggal, dirinya dan juga sang ibu. Kadang Fey merasa kesepian, ia merindukan masa-masa saat keluarganya berkumpul dengan formasi yang lengkap.
Tapi hal itu sudah sangat lama terjadi. Dan momen itu mungkin tak akan pernah terjadi lagi dalam seumur hidupnya. Di hari spesial pun hanya akan ada sang ibu dan Yesa yang menemani. Ahh ... Fey tiba-tiba jadi rindu dengan pemuda manis itu. Ia menggeleng keras, sadar jika sekarang dia benar-benar sudah telat.
Hukuman sudah siap menunggunya di sekolah. Tapi tak apa, hal itu hanyalah masalah sepele baginya. Dan itu sudah menjadi rutinitas setiap pagi di hari sekolah. Fey menyemangati dirinya sendiri, karna rutinitas memaksa ini sebentar lagi akan berakhir. Ya, Fey sangat menantikan hari kelulusan di sekolah menengah atas itu.
Ia menghela napas dalam sangat panjang, melonggarkan pernapasannya agar lebih rileks. Sebuah roti lezat nan harum yang disiapkan oleh sang ibu langsung dicomotnya. Sambil berjalan dengan santainya Fey mengunyah roti lezat tersebut.
...
"Hitung lagi dari awal!" Sebuah komando dengan suara lantang dan berat tengah mengintruksi para siswa yang datang terlambat dengan pushup sebagai hukuman, sedangkan untuk para siswi diberikan hukuman berlari memutari lapangan, terlihat tidak adil, bukan? Di antara para siswi yang dihukum, Fey juga ada di sana.
"Satu! dua! tiga! ..."
Rasanya saat ini kakinya akan patah. Hitungan yang dimulai dari awal ini sudah merupakan yang ke tujuh kalinya, dengan jumlah lari 10 kali putaran.
"Lariyang benar! Kalian ini sudah berani datang terlambat jadi harus menerima konsekuensi! Kalian ini sudah kelas 12 masih saja jadi langganan hukuman karena terlambat!"
Arghhhh! Fey mengepalkan tinjunya, kupingnya sudah panas mendengar ocehan dan petuah yang kuno dari wali kelasnya itu.
"Berdiri!" Perintah yang didominasi dengan bentakan itu membuat semua siswa-siswi yang masih dalam posisi pushup maupun berlari seketika berdiri dan berbaris rapi. "Kali ini kalian semua akan saya maafkan. Tapi lain kali ..." Si wali kelas menggantung kalimatnya.
Ia berjalan mendekat ke arah Fey, lalu berdiri tepat di depannya dengan tatapan yang mengintimindasi. "Tak ada maaf lagi bagi kalian. Saya pastikan untuk memberikan hukuman yang lebih berat dari ini. Apa kalian mengerti?!"
Hanya ada jawaban lirih dari beberapa siswa-siswi.
"APA KALIAN MENGERTI?!" Wali kelas mengulangi pertanyaanya dengan nada tegas.
"Iya, Pak. Kami mengerti!" jawaban serempak langsung terlontar keluar dari masing-masing siswa.
"Kalau begitu cepat masuk ke kelas kalian masing-masing!"
"Baik, Pak!" Siswa-siswi yang dihukum tadi membubarkan diri, dan berjalan cepat menuju kelas mereka masing-masing, tak terkecuali Fey. Namun sebelum sempat ia masuk ke dalam kelas, pria bermata tajam dengan raut wajah sangar yang barusan menjadi sang penghukum para siswa terlambat menghentikannya sebentar.
"Feya," panggilnya dengan suara berat.
Fey berbalik dan berhenti di ambang pintu.
Pria yang menjabat sebagai guru Matematika itu menunjuk kedua matanya dengan sepasang jari, lalu mengarahkannya ke mata Fey. Setelah itu ia berlalu pergi. Fey yang mendapat kode tersebut hanya menyengal tawa dan tersenyum menyungging.
...
Ding dong ... ding dong ...
Bel istirahat siang telah terdengar, Fey yang duduk di bangku pojong paling belakang dekat jendela kaca langsung melakukan peregangan. Otot-otonya terasa kaku. Ia mengusap wajah tirusnya agak kasar, mulutnya menguap lebar.
Teman segengnya menghampirinya, menanyakan perihal makanan apa yang akan mereka santap siang ini. Fey mendecak malas, ia bangkit, suara deritan dari kursi yang didorongnya ke belakang secara paksa menimbulkam suara yang cukup nyaring.
"Gue mau makan siang sama mas pacar," ujarnya to the point pada teman-temannya itu. Tanpa mendengar jawaban apapun dari sang teman, Fey sudah melangkah pergi untuk menemui Yesa di ruang kelas sebelah.
"Hay ..." Saat sudah sampai di ruang kelas Yesa, Fey menyapa pemuda itu dengan manis. Ia mendudukan dirinya tanpa permisi. Sebelah tangannya menopang dagu sambil menatap Yesa dengan wajah penuh senyum.
Yesa menggeleng pelan, bibir tipisnya tersenyum manis. Ia lalu meraup manja wajah Fey dengan tangannya yang lumayan berotot serta sedikit kasar. Hal itu terlihat begitu romantis. Mereka tertawa bersama-sama.
Fey bangkit dari duduk, lalu mengulurkan tangannya pada Yesa. Pemuda itu menyambut tangan ramping milik Fey dengan senang hati. Mereka berjalan menuju kantin dengan tangan yang saling bertaut. Banyak mata memandang kejadian romantis itu dengan tatapan iri.
...
Sejak tadi Fey memandangi Yesa dalam diam, sudah beberapa hari ini Yesa terlihat mengacuhkannya. Padahal beberapa minggu yang lalu hubungan mereka masih hangat dan romantis. Tapi entah mengapa sekarang Yesa nampak cuek padanya.
Hal ini sama persis saat pemuda itu mulai berbuat curang di belakangnya. Apa jangan-jangan memang benar jika sekarang kekasihnya itu telah bermain api lagi. Fey tak tahan lagi dengan sikap dingin Yesa, ia mengambil ponsel Yesa paksa, sontak pemuda itu memicingkan sebelah alis.
Tangannya terulur akan mengambil ponselnya lagi dari Fey, akan tetapi Fey tak membiarkannya dengan mudah.
"Balikin!" Tuntut Yesa.
Fey diam, tak memberikan respon. Hanya tatapannya yang terpaku menatap Yesa.
"Aku bilang balikin, Feya!" Lagi-lagi Yesa menuntut ponselnya untuk dikembalikan.
Fey menjauhkan ponsel itu dari jangkauan Yesa.
"Apa maumu?" tanya Yesa jengkel.
Fey menghela napas dalam pelan. "Ada aku di sini, tapi kamu terus sibuk sama ponselmu. Apa ada sesuatu yang lebih menarik dari aku?" Fey membombardir Yesa dengan pertanyaan yang sudah gatal di pikirannya.
Yesa menekuk wajahnya, hal itu masih terlihat lucu bagi Fey, tapi saat ini hubungan mereka terasa renggang. "Yesa, jawab aku? hm?"
Yesa menatap Fey tajam. "Ayo kita putus," ujarnya begitu enteng.
Fey terbengong, apa dia tidak salah dengar. Kenapa sangat tiba-tiba, dan apa alasannya?