(Di kali ada batu, ahay I lopyu, Alfianku.)
-Abigail||
Beberapa jam sebelum terjadinya pertanyaan absurd tersebut.
Abigail berjalan di jalan kota dengan langkah ringan, menikmati setiap detik perjalanan. Dengan pakaian lucu yang penuh warna—gaun pendek dengan warna polos biru muda dan sepatu kets berwarna cerah—dia tampak seperti seseorang yang tak pernah terpengaruh oleh dunia di sekitarnya.
Rambutnya yang dibiarkan terurai, dihiasi pita kecil di sisi kanan, bergerak pelan tertiup angin. Senyumnya selalu terukir di wajahnya, tak peduli seberapa sibuk atau kacau dunia di sekitarnya.
Ketika dia sedang menyusuri trotoar yang ramai, dia bertemu dengan seorang nenek tua yang tampaknya ingin memberikan sebuah pesan. Namun, Abigail yang ceria dan tidak terlalu mempercayai hal-hal seperti itu hanya mendengarkan dengan sikap acuh tak acuh. Nenek itu dengan serius mengatakan, "Kamu akan mengalami kesialan besar jika tidak menemukan pasangan."
Abigail hanya tersenyum simpul, mengangguk ringan, dan tanpa merasa terganggu melanjutkan langkahnya. Tiba-tiba banget, Nek?
Dengan senyum ceria dan langkah yang ringan, mengabaikan kata-kata nenek itu begitu saja. Dengan gaya khasnya yang penuh warna dan keceriaan, dia mengeluarkan selembar uang merah dari tasnya dan memberikannya pada nenek tua itu, berharap si nenek akan berhenti mengganggunya dengan ramalan-ramalan aneh. "Ini untukmu, Nenek, semoga hari-harimu lebih baik!" katanya dengan nada riang sebelum melanjutkan langkahnya.
Namun, tak lama setelah itu, petaka mulai terjadi. Baru beberapa langkah berjalan, sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, dan tiba-tiba cipratan air dari genangan yang terpercik mengarah tepat ke tubuh Abigail. Gaunnya yang cerah terciprat kotor, dan sepatu kets putihnya kini basah kuyup. Abigail hanya terdiam sejenak, sedikit kesal, tetapi segera kembali tertawa dan mengibaskan air dari gaunnya. "Ah, cuma air kok," pikirnya, mencoba tidak terlalu memikirkan kejadian itu.
Namun, nasib sepertinya tidak berpihak padanya hari itu. Tak lama setelahnya, saat Abigail melangkah lebih jauh, kakinya terpleset oleh kulit pisang yang tergeletak begitu saja di trotoar. Ia terjatuh dengan gaya dramatis, hampir membuat dirinya terpelintir. Seketika, ada beberapa orang yang melihat, dan Abigail malah tertawa terbahak-bahak, seolah kejadian itu hanya sebuah lelucon. "Aduh, kaki licin! Mungkin harus bawa pembalut untuk kaki," ujarnya sambil berdiri dan mengibas-ngibaskan gaunnya.
Namun, petaka itu belum berakhir. Saat ia kembali ke rumah dan hendak mentransfer sejumlah uang untuk membeli barang yang sudah lama dia inginkan, ia secara tidak sengaja mentransfer jumlah uang yang salah—jauh lebih besar daripada yang seharusnya. Begitu menyadari kesalahannya, Abigail hanya bisa menghela napas panjang. "Apa ini?" gumamnya, menyadari bahwa dia baru saja melakukan kesalahan yang cukup fatal. "Ini bukan hanya kesialan, ini bencana!"
Abigail berjalan pelan di trotoar, masih merasa jengkel dengan serangkaian kejadian aneh yang baru saja menimpanya. Cipratan air dari mobil, terpleset kulit pisang, dan kesalahan transfer uang—semuanya seakan berkumpul menjadi sebuah bukti bahwa ada sesuatu yang salah. Senyumnya mulai pudar sedikit demi sedikit, dan saat itu, untuk pertama kalinya, dia terdiam. Hatinya terasa sedikit resah, meskipun ia enggan mengakuinya.
Selama ini, hidup Abigail penuh dengan kegembiraan, tanpa pernah benar-benar peduli tentang hal-hal serius. Tapi setelah pertemuan dengan nenek itu, dan serangkaian kesialan yang tak terduga, sebuah pertanyaan muncul di benaknya yang tak bisa ia hindari: Apakah nenek itu benar? Apakah aku memang harus mencari pasangan?
Kata-kata nenek itu terngiang-ngiang di kepala Abigail, lebih kuat dari sebelumnya. Sebelumnya dia hanya menganggapnya sebagai omong kosong, tetapi kini, dengan segala kebetulan yang terjadi, ia mulai merasa ada sesuatu yang mengganggunya. Apa benar dia akan kesulitan jika terus berada dalam kesendirian? Abigail mulai merenung, mempertanyakan hidupnya.
Dengan tubuh yang sedikit kaku, Abigail terus berjalan, menatap ke kiri dan ke kanan, berusaha menjaga ketenangannya. "Tidak ada yang bisa merusak hariku lagi," gumamnya pelan, mencoba menenangkan dirinya.
Namun, tak lama setelah itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Tanpa peringatan, sebuah tangan cepat meraih tas kecil berbentuk kelinci yang tergantung di bahunya. Abigail merasa tarikannya, dan tanpa pikir panjang, reflek, ia menoleh ke belakang. Dua orang pria berlari kencang, berusaha melarikan diri dengan tasnya.
Rasa panik dan amarah langsung membanjiri Abigail. Tasnya! Itu adalah salah satu aksesori favoritnya yang penuh kenangan. “WHAT ON EARTH!?" Teriakannya membuat sekeliling menatapnya heran.
Abigail yang baru saja merasakan kemenangan kecil, kini tersenyum nakal saat melihat bus berhenti di halte. Di dalam bus, dengan jendela terbuka sedikit, dia melihat Alfian duduk sendirian, tampak melamun atau mungkin hanya menikmati perjalanan. Entah mengapa, pemandangan itu seperti memberi inspirasi langsung ke dalam kepalanya. Sebuah ide picik—atau lebih tepatnya, sebuah rencana nakal—muncul begitu saja.
"Nenek itu tidak bilang kalau harus pasangan asli, kan? Pasangan palsu juga bisa, kaaaaan...?" gumam Abigail dengan tertawa kecil, hampir tak percaya pada pikirannya sendiri. Matanya bersinar penuh semangat, dan dia tahu bahwa ini saat yang tepat untuk bertindak.
Tanpa berpikir panjang, dia mulai berlari—bukan sekadar langkah biasa, tapi sprint penuh tenaga seperti seorang atlet yang sedang berlomba. Melibas jalanan dengan kecepatan yang hampir tak terduga, dia berusaha mengejar bus yang mulai bergerak pelan. Senyumnya kembali lebar, matanya berbinar, dan dalam pikirannya hanya ada satu tujuan: menemui pria itu!
“Pasangan palsu juga bisa, kan? Hahaha!” Abigail tertawa lebih keras, semangatnya membuncah. Dia tahu ini mungkin terdengar aneh, bahkan agak gila, tapi dengan keadaan yang begitu kacau dan penuh kejutan, dia merasa ini adalah kesempatan yang tepat untuk mencobanya.
Kembali ke saat sekarang, dimana Abigail menyatakan 'cinta'-nya kepada Alfian dalam waktu yang cukup cepat.
Alfian, yang baru saja terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba, tidak bisa menahan ekspresi keterkejutannya. Matanya membesar, mulutnya terbuka sedikit, dan dia tampak seperti baru saja disambar petir. "Kamu... gila?" jawabnya, suaranya dipenuhi dengan kebingungan yang jelas.
“Aku suka kamu sudah sejak awal kita ketemu di bus kemarin. Jadi, aku tidak mau menunggu lama, aku ingin mengatakannya secara langsung secepat mungkin. Aku suka kamu, Kak. Mau tidak jadi pacarku?” tanya Abigail dengan mata berbinar-binar.
Alfian tidak mampu berkata-kata, dia hanya terburu-buru turun dari bus saat tempat yang dia tuju akhirnya sampai. “Pait, pait, pait!” ujarnya dengan suara rendah sepanjang langkah, memeluk tas ransel miliknya dengan hati-hati sambil merapikan kacamatanya yang miring.
“Orang secantik aku ditolak?” Abigail berkedip berkali-kali saat melihat punggung Alfian yang mulai menjauh. Tanpa sadar bus bergerak lagi dengan tujuan Abigail yang entah kemana.
||
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
DATING BY DECEPTION || 21+
RomanceWARNING 21+ (omongan kasar, rokok, kekerasan dan adegan vulgar BDSM:V) Blurb: Alfian Leonard (24) adalah Mahasiswa Sastra Indonesia yang mempunyai bakat menulis novel. Namun, pada suatu hari karya yang ia buat terus ditolak oleh penerbit karena ti...