CHAPTER 1. BOLEH

817 6 0
                                    

(Jangan jadi monyet, karena monyet itu hewan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Jangan jadi monyet, karena monyet itu hewan.)
-Abigail. E

||


Langit sore di kota kecil itu terlihat buram, seakan menyesuaikan suasana hati Alfian yang tengah dipenuhi kegundahan. Matahari terbenam memancarkan cahaya jingga samar yang menembus kaca jendela kafe tempat ia bertemu editornya. Di meja sudut, mereka duduk berhadapan, dengan setumpuk kertas tebal di tengah—naskah Alfian yang selama ini menjadi buah keringat dan pikirannya.

Wanita paruh baya dengan kemeja putih yang tergulung di siku, tampak sibuk membolak-balik halaman. Suara mesin kopi dan obrolan ringan para pengunjung lain nyaris tak terdengar di telinga Alfian yang terpaku menunggu keputusan. Tangan kanannya mengetuk-ngetuk meja dengan irama tak beraturan, sementara pandangannya tertuju pada dinding yang dipenuhi rak buku-buku lama.

“Perusahaan banyak mengambil cerita yang ada unsur percintaannya, Alfian,” kata editor itu akhirnya, memecah keheningan. Suaranya tenang, namun tegas. “Mereka kurang tertarik dengan novel genre fantasi dan aksi seperti yang kamu buat.”

Kata-kata itu terasa seperti tamparan bagi Alfian. Matanya menatap editornya dengan ekspresi kosong. "Apakah cerita milik saya sejelek itu?" tanyanya dengan nada ragu, mencoba menahan getaran di suaranya

Editor itu menutup naskah dan menaruhnya di atas meja. “Ceritamu bagus.” Ia bersandar ke kursi, tangan kirinya memegang cangkir kopi yang mulai mendingin. “Namun, seperti yang aku katakan tadi. Penerbit memilih cerita sesuai pasar, bukan berdasarkan bagus atau tidaknya cerita.”

Alfian menghela napas panjang. Cahaya redup lampu kafe membuat garis wajahnya tampak lebih tegas. Ia tahu betul apa maksud ucapan editornya. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang belum rela melepaskan apa yang telah ia perjuangkan selama ini. “Jadi, saya harus?” ia bertanya, meskipun kata-katanya terdengar seperti keluhan.

“Itu terserah kamu,” jawab editor itu santai, namun tajam. Senyumnya yang samar mengandung nada mengejek yang hampir tak kentara. “Kalau kamu merasa untuk tetap menjadi penulis idealis tanpa mengharapkan yang lain, terserah saja.”

Alfian menunduk dalam-dalam. Matanya tertuju pada gelas teh yang sudah tinggal setengah, uapnya menghilang bersama harapan-harapan yang pernah ia rajut. “Saya ingin menjadi penulis yang dikenal banyak orang dengan karya saya sendiri, tapi karena genre yang saya tulis tidak sesuai dengan selera orang-orang…” Kalimatnya menggantung di udara, seolah terjebak di antara pikirannya yang kacau dan lidahnya yang kelu.

Editor mengamati wajah Alfian dengan saksama. “Lalu apa yang ingin kamu lakukan sekarang?” tanyanya, memberikan ruang bagi pemuda itu untuk merenung.

DATING BY DECEPTION || 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang