"Al, lo udah tahu jawaban teka-tekinya?" Tanya Fernando ketika dia sudah mengemudikan mobil beberapa saat. Penasarannya tak terbendung.
"Lo keren sih, Kak. Padahal tadi nggak banyak nanya sama Opa Tom," ujar Bilqis.
Ronald menyimak pertanyaan Fernando dan pernyataan Bilqis. Dia menyimpan penasaran yang sama. Dia juga membenarkan perkataan Bilqis. Aliya tidak banyak bertanya pada Opa Tom. Dia berharap Aliya langsung menjelaskan sesuatu. Perjalanan jauh ke Lembang mestinya membuahkan sesuatu.
"Buat gue udah, sih..." jawab Aliya pelan. "Kayaknya nggak ada yang perlu dipertanyakan lagi. Opa Tom udah banyak cerita, gue tinggal dengerin."
"Jelasin dong, Kak," pinta Bilqis.
"Eh, gimana kalau kita nyari makan, sekalian istirahat dulu lah kita. Biar ngobrolnya makin enak," usul Fernando. Semua menyetujui, perjalanan panjang itu melelahkan. Meskipun Ronald harus menahan rasa penasarannya. Dia sudah terbiasa untuk tidak menuntut, dia ikuti saja alur teman-temannya.
Fernando minta dicarikan lokasi makan, Bilqis memilih satu tempat dengan latar yang asri. Dengan danau menjadi salah satu daya tariknya, "Gue mau naik perahu!"
Hari menjelang sore, Fernando cepat mengemudikan mobil ke lokasi yang diinginkan Bilqis. Supaya tidak kemalaman dan memungkinkan untuk naik perahu. Aliya paham, laki-laki yang sedang jatuh hati pasti mau melakukan apa saja untuk perempuan pujaan hatinya. Walaupun Aliya sebenarnya senang sekali melihat kebun teh yang terhampar luas.
"Donald bebek," panggil Aliya sekenanya. Si lelaki menoleh ke seat belakang. "Keluarga lo punya perkebunan teh juga?"
Tumben sekali pertanyaan Aliya kurang bermutu. Mestinya perempuan itu sudah tahu jawabannya. Apa perempuan itu hanya mencari topik obrolan? Ronald juga menyadari kalau Aliya dari tadi banyak diamnya, kenapa tidak bertanya pada Opa Tom saja?
"Punya, diurus sama Opa Tom," Aliya menjawab pertanyaannya sendiri karena Ronald lama menjawabnya. Perempuan itu kemudian diam lagi. Tidak banyak bicara sampai mereka sampai di sebuah rumah makan yang diinginkan Bilqis.
Empat orang dari Jakarta itu memilih duduk lesehan, di sebuah gazebo. Seorang pramusaji memberikan buku menu dan mereka langsung memesan makanan dan minuman.
"Jadi gimana Al?" Tanya Fernando begitu pramusaji undur diri membawa catatan pesanan mereka.
Aliya melihat tiga orang temannya menaruh perhatian pada Aliya, termasuk Ronald yang duduk tepat di depannya. Aliya menarik napas dalam, menata pikirannya, memilah mana dulu yang mesti disampaikan pada tiga orang yang duduk bersamanya.
"Menurut gue... Kayaknya kemarin gue terlalu rumit mikirnya. Padahal itu adalah hal yang sederhana. Ekspektasi yang memaksa otak kita kalau hal itu harus jadi rumit," Aliya memberi pengantar hasil pemikirannya. "Pikiran kita ter-framing kalau itu tentang warisan, harta."
Aliya menatap Ronald. Laki-laki itu menatapnya balik, memperhatikan ucapan Aliya dengan seksama.
"Kita jadi membayangkan itu sesuatu yang dirahasiakan. Sesuatu yang berharga," Aliya seperti mengoreksi pikirannya sebelumnya. "Tapi sangat mungkin kalau itu sesuatu yang sederhana, sesuatu yang dekat dengan kita. Seperti gajah di pelupuk mata. Itu adalah cerita yang diceritakan oleh Tuan Leon pada cucu-cucunya."
Aliya mengambil napas sejenak, "Jawaban teka-teki 'Gajah dan semut dari matamu', itu seperti yang diceritakan Opa Tom, tentang David dan Goliath. Seperti suit. Bagaimana kita memandang dan menilai orang lain dan diri sendiri. Tentang kesadaran diri, bagaimana saat menjadi gajah dan saat menjadi semut."
"Lo yakin, Al?" Tanya Fernando tidak percaya.
"Lo masih mikir itu soal harta warisan?" Tanya Aliya dengan penuh penekanan. Fernando jadi sungkan karena berharap lebih.

KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Merah [END]
General FictionRonald tiba-tiba tertarik dengan nenek moyang keluarganya, karena ada cerita tentang harta keluarga yang masih tersembunyi. Konon kakek dari kakeknya adalah orang yang sangat kaya. Sampai Ronald menemukan sebuah tulisan tanpa makna dari kakeknya. Di...