hampa dalam kesalahan

5 1 0
                                    

Hampa dalam Kesalahan

Umar duduk sendiri di kamarnya, matanya menatap kosong ke luar jendela. Di luar sana, dunia berjalan begitu cepat, sementara di dalam dirinya, ada ruang kosong yang tak bisa diisi oleh apapun. Seorang pemuda berusia dua puluhan dengan tinggi badan 180 cm, mahasiswa keperawatan yang mendapat beasiswa, tetapi hatinya terasa begitu hampa. Mimpi untuk menjadi dosen di bidangnya terus ia kejar, namun setiap langkah terasa berat, seakan ia sedang berjalan dalam kegelapan, mencari cahaya yang tak pernah ada.

Di balik senyumnya yang tampak biasa, ada luka yang semakin dalam. Di balik tawa yang ia tampilkan di depan orang lain, ada kesedihan yang tak terlihat. Umar pernah mencintai dan dicintai—hampir 50 cewek—namun setiap hubungan itu berakhir begitu saja, meninggalkan bekas luka di hatinya. Yang lebih menyakitkan, ia tak pernah memberi penjelasan. Ia meninggalkan mereka begitu saja, tanpa kabar, tanpa alasan yang jelas. Ia merasa seolah-olah mereka hanya bagian dari kisah yang tak penting, yang bisa ia tinggalkan tanpa rasa bersalah. Tapi kini, kesalahan itu kembali menghantuinya.

Ia merasa menjadi "penjahat" dalam setiap cerita cinta yang pernah ada. Setiap perpisahan seperti sebuah kegagalan yang tak bisa ia sembuhkan. "Aku tak pernah bisa jadi baik," pikirnya, menahan air mata yang hampir tumpah. "Aku meninggalkan mereka tanpa mengatakan apa-apa, tanpa memberi mereka kesempatan untuk mengerti kenapa semuanya berakhir. Aku pantas merasakan ini."

Ia tahu bahwa setiap hubungan yang berakhir adalah akibat dari kesalahannya. Setiap kali ia mencoba berubah, perasaan bersalah itu menghantui. "Karma," pikirnya, saat melihat banyak cewek yang menjauh darinya. "Aku pantas merasakannya. Aku pantas hidup dalam kesepian ini." Namun, entah mengapa, setiap kali ia berusaha untuk melupakan, perasaan itu datang kembali, lebih kuat, lebih menyakitkan.

Umar mencoba mengalihkan rasa kosong itu dengan hubungan baru. Ia berpikir bahwa dengan mencari cewek lain, mungkin ada sesuatu yang bisa mengisi kekosongan dalam dirinya. Tapi semuanya terasa palsu, sementara. Seperti sebuah ilusi yang tak bisa ia pegang. Setelah semuanya berakhir, ia merasa lebih hampa dari sebelumnya. Setiap kali ia mencari pelarian, ia semakin merasa bahwa hidupnya hanya berisi kebohongan.

Suatu malam, dalam kesendirian yang mencekam, Umar menatap bayangannya di cermin. "Apa yang telah aku lakukan?" pikirnya, tubuhnya terasa lemas, seolah tak ada energi lagi untuk berjuang. "Apakah aku masih pantas untuk merasa bahagia? Apakah aku masih pantas merasakan cinta?" Tangisannya pecah, memecah keheningan malam itu. Ia merasa dunia ini terlalu berat, dan dirinya terlalu lemah untuk menanggungnya.

Ia tahu bahwa untuk bisa berubah, ia harus terlebih dahulu menghadapi dirinya sendiri. Tapi bagaimana bisa ia memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah ia buat? Bagaimana bisa ia menghapus luka yang ia tinggalkan pada orang-orang yang ia cintai, pada mereka yang telah ia tinggalkan tanpa kabar, tanpa penjelasan?

Dalam kepedihan yang mendalam, Umar teringat sebuah doa yang pernah ia dengar, sebuah doa yang ia ucapkan tanpa benar-benar memahaminya. Namun malam itu, dengan hati yang hampir putus asa, ia memanjatkan doa itu dengan segala harapan yang masih tersisa:

"Hasbunallahu wa ni’mal wakeel, ni’mal maula wa ni’mal nasir."
"Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Dia adalah sebaik-baik tempat bertumpu, sebaik-baik pelindung, dan sebaik-baik penolong."

Doa itu terucap dari bibirnya dengan suara yang hampir tak terdengar, tetapi ada getaran harapan yang bersembunyi di dalamnya. Umar tahu, meskipun hatinya begitu hancur, ia tak bisa menyerah begitu saja. Ia tak tahu bagaimana caranya untuk memperbaiki semuanya, tetapi ia tahu satu hal—ia harus berjuang, meskipun perasaan itu terus datang, meskipun rasa bersalah itu terus menghantui.

Hari-hari berlalu, dan Umar terus berjalan, meski langkahnya terasa berat. Ia tak bisa mengubah masa lalunya, tapi ia mulai belajar menerima kenyataan bahwa ia adalah manusia dengan segala kekurangan dan kesalahan. Setiap hari ia berusaha menjadi lebih baik, sedikit demi sedikit, meskipun hatinya masih terluka, meskipun masih ada rasa bersalah yang menggantung.

Dan meskipun ia tak tahu apakah ia akan pernah merasa utuh lagi, ia tahu bahwa ia harus terus berjalan, mencari jalan untuk menjadi lebih baik. Karena dalam kesendirian yang mencekam, Umar mulai menyadari satu hal—meskipun ia merasa hampa, ia masih berhak untuk berharap, berhak untuk memperbaiki dirinya, dan berhak untuk mencintai diri sendiri lagi.

---

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

hampa dalam kesalahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang