Suara dering ponsel memecah keheningan di kantor Zeandra. Pria dengan jas hitam sempurna itu mendengus sebal ketika melihat nama neneknya, Ny. Melati, terpampang di layar. Ia tahu panggilan itu tidak akan membawa kabar baik.
"Zeandra, pulanglah malam ini," suara tegas neneknya terdengar dari seberang. "Ada makan malam keluarga. Tidak ada alasan untuk absen!"
"Maaf, Nek. Saya sibuk," jawab Zeandra singkat. Matanya tetap fokus pada dokumen di mejanya.
"Sibuk apa? Menghabiskan seluruh waktumu di kantor itu tidak akan membuatku berhenti khawatir. Ingat, Zeandra, kamu adalah penerus keluarga kita, dan aku tidak ingin kamu menghancurkan nama besar kita. Pulanglah malam ini, atau aku sendiri yang akan datang menjemputmu!"
Zeandra menghela napas panjang. Ia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan neneknya. Malam itu, dengan enggan, ia meninggalkan kantor dan meluncur ke rumah keluarganya.
Di ruang makan besar keluarga, suasana terasa hangat, tetapi Zeandra tahu ini hanya tipuan. Neneknya duduk di ujung meja, tatapan tajamnya mengawasi setiap gerakan Zeandra.
"Langsung ke intinya saja, Nek. Apa ini tentang perusahaan lagi?" tanya Zeandra sambil menyandarkan punggung ke kursi.
Neneknya tersenyum tipis, tetapi ada nada serius di suaranya. "Bukan hanya perusahaan, Zeandra. Ini tentang masa depanmu. Kamu sudah 28 tahun, dan belum sekalipun membawa seorang wanita ke rumah. Apa kamu tidak berniat menikah?"
Zeandra terkekeh kecil. "Menikah? Maaf, Nek, saya terlalu sibuk untuk itu."
"Kalau begitu, aku yang akan mencarikan calon istri untukmu," kata neneknya dengan nada penuh ketegasan. "Kamu punya tiga bulan untuk menikah. Jika tidak, aku akan menyerahkan perusahaan ini ke sepupumu, Ryan."
Wajah Zeandra berubah serius. Ia tahu neneknya tidak pernah main-main dengan ancamannya. "Apa? Ryan tidak kompeten! Perusahaan ini akan hancur di tangannya!"
"Itulah alasanmu harus menikah. Tunjukkan bahwa kamu bisa bertanggung jawab, Zeandra," neneknya berkata sambil menyilangkan tangan. "Aku sudah memilihkan calon yang cocok untukmu. Kamu tinggal bertemu dengannya minggu depan."
Zeandra hanya bisa menggertakkan gigi. Perasaan kesal dan frustrasi bercampur jadi satu. Bagaimana mungkin ia, yang selalu hidup dengan rencana matang, harus tunduk pada perjodohan yang tidak pernah ia inginkan?
---
Zeandra berdiri dari kursinya, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. "Nek, dengan segala hormat, saya tidak butuh pernikahan untuk membuktikan apa-apa. Keberhasilan perusahaan ini sudah cukup menunjukkan kemampuan saya."
Ny. Melati mengangkat alisnya. "Kemampuanmu tidak diragukan, Zeandra, tetapi tanggung jawab sebagai kepala keluarga adalah hal yang berbeda. Perusahaan ini adalah warisan keluarga, dan aku ingin memastikan masa depannya aman."
Zeandra mengepalkan tangan. Ia ingin membalas ucapan neneknya, tetapi tahu bahwa itu hanya akan memicu perdebatan lebih panjang. "Baiklah," katanya akhirnya dengan suara dingin. "Saya akan menemui orang yang nenek pilih. Tapi jangan harap saya akan menyetujuinya dengan mudah."
Neneknya tersenyum puas. "Bagus. Aku tahu kamu anak yang pintar. Pertemuan pertama kalian akan diatur di restoran favoritmu. Jangan sampai membuatnya merasa tidak dihargai."
Zeandra menatap neneknya dengan tatapan tajam sebelum akhirnya keluar dari ruang makan. Ia berjalan menuju balkon rumah keluarga, mencari udara segar untuk meredakan emosinya. Langit malam yang penuh bintang tidak cukup menenangkan pikirannya. Di benaknya, hanya ada satu pertanyaan besar: Bagaimana ia bisa keluar dari situasi ini tanpa menghancurkan semua yang telah ia bangun?
KAMU SEDANG MEMBACA
Terkait Cinta Yang Tak Direncanakan
Short Storybaca ajaa semoga cerita nya nyambung yaa☺️