Bab 2: Dilema Dua Dunia

136 27 0
                                    


Kembali ke apartemennya malam itu, Zeandra memandang keluar jendela, menyaksikan gemerlap lampu kota yang tidak pernah tidur. Di dalam pikirannya, percakapan dengan Christy terus berulang. Ia ingin percaya bahwa penjelasan Christy tulus, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan luka lama yang masih meninggalkan bekas.

Ponselnya bergetar di meja, memunculkan nama neneknya di layar. Zeandra mendesah pelan sebelum mengangkat panggilan itu.

"Apa kamu sudah bertemu dengannya?" suara Ny. Melati terdengar tegas seperti biasa.

"Sudah," jawab Zeandra singkat.

"Dan?" desak neneknya.

Zeandra menghela napas. "Dia... tidak seburuk yang kupikirkan. Tapi ini tidak berarti aku setuju dengan perjodohan ini, Nek."

Ny. Melati terkekeh kecil. "Kamu terlalu keras kepala, Zeandra. Bukankah Christy adalah seseorang yang pernah kamu kenal baik? Aku yakin dia cocok untukmu, lebih dari siapa pun."

"Nenek tahu betul apa yang terjadi di masa lalu," balas Zeandra. "Apakah ini murni tentang aku dan dia, atau ini hanya permainan kekuasaan untuk memastikan perusahaan tetap di bawah kendali keluarga kita?"

Suara di seberang telepon terdiam beberapa saat sebelum Ny. Melati akhirnya menjawab. "Aku tidak memungkiri bahwa aku ingin perusahaan ini tetap aman. Tapi lebih dari itu, aku ingin kamu bahagia, Zeandra. Bahagia dengan seseorang yang bisa mendukungmu."

Zeandra hanya mengangguk kecil meski neneknya tidak bisa melihatnya. "Aku akan memikirkannya, Nek."

"Bagus. Tapi jangan terlalu lama berpikir. Waktu terus berjalan," kata neneknya sebelum menutup telepon.

Zeandra meletakkan ponsel di meja dan duduk di sofa. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi, ia ingin melawan neneknya, membuktikan bahwa ia bisa hidup dengan caranya sendiri. Tapi di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa neneknya hanya menginginkan yang terbaik untuknya-meskipun caranya terasa memaksa.

---

Hari-hari berlalu dengan cepat. Zeandra mencoba kembali fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus terganggu oleh dua hal: tekanan dari neneknya dan keberadaan Christy yang tiba-tiba kembali ke dalam hidupnya.

Di kantor, asistennya, Rani, menyadari bahwa bosnya tidak seperti biasanya. "Pak Zeandra, apakah semuanya baik-baik saja?" tanyanya suatu siang ketika Zeandra terlihat termenung di meja kerjanya.

Zeandra mendongak dan tersenyum tipis. "Aku hanya banyak pikiran, Rani. Tidak perlu khawatir."

Rani mengangguk, meski jelas ia tidak sepenuhnya yakin. "Kalau begitu, ada satu hal yang mungkin bisa membantu. Tuan Ryan meminta bertemu dengan Anda hari ini. Katanya ada hal penting yang ingin dibahas."

Mendengar nama sepupunya, Zeandra mendesah. Ia tahu Ryan pasti mendengar sesuatu tentang ultimatum nenek mereka. "Baiklah. Suruh dia masuk."

Beberapa menit kemudian, Ryan muncul di ruangan Zeandra dengan senyum lebar yang selalu terlihat sedikit meremehkan. Ia mengenakan setelan mahal yang jelas lebih untuk gaya daripada fungsi.

"Zean, sepupuku yang tersayang," kata Ryan dengan nada santai. "Bagaimana kabarmu? Kudengar nenek kita sedang sibuk mencarikanmu pasangan."

Zeandra menatapnya dengan dingin. "Kalau kau datang hanya untuk mengejek, Ryan, lebih baik kau pergi."

Ryan tertawa kecil dan duduk tanpa diundang. "Oh, tidak, aku tidak berniat mengejek. Aku hanya penasaran. Kau tahu, aku tidak keberatan kalau nenek menyerahkan perusahaan ini padaku. Sebenarnya, aku pikir aku lebih cocok memimpin dibandingkan seseorang yang tidak bisa mengikuti tradisi keluarga."

Terkait Cinta Yang Tak Direncanakan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang