BAB 20
Kota CandiLiburan sekolah akhirnya tiba setelah seminggu penuh berjuang mengerjakan soal-soal asesmen kompetensi minimum yang membuat kepala terasa sangat penting, tapi akhirnya hasil terbaik pun didapatkan. Hati rasanya sangat senang dan lega, karena segala usaha selama satu semester ini tidak sia-sia.
"Dip!" panggil Arkan, membuyarkan lamunan Pradipta.
"Kenapa?" jawab Pradipta, sedikit terkejut.
"Lo tuh kenapa? Dipanggil dari tadi malah ngelamun. Mikir apa lo? Cewek?" tanya Arkan dengan nada mengejek.
"Ngaco!" sahut Pradipta cepat. "Yang lain kemana?"
"Udah pada di lapangan."
"Kenapa kita ditinggal?"
"Bukan kita, tapi lo!" jawab Arkan dengan kesal. "Apa sih yang lo pikirin? Dipanggil dari tadi nggak nyaut."
"Udahlah," ucap Pradipta mencoba mengalihkan pembicaraan. "Mending ikut ke depan, udah pada nunggu pasti."
"Iyalah!"
Keduanya pun akhirnya memilih keluar dari ruang peserta. Pradipta merasa lega, dia sedang malas menjelaskan, sementara Arkan tidak terlalu peduli. Baginya, itu adalah hak Pradipta jika tidak ingin bercerita.
Lapangan futsal sudah ramai, dengan para penonton yang memenuhi tribun. Pradipta sampai terdiam, tak bisa berkata lagi. "Namanya juga lagi libur sekolah," ucap Arkan, sadar dengan tatapan terkejut Pradipta.
"Gue kira bakal sepi," balas Pradipta pelan, sambil berbisik.
"Apa?" tanya Arkan, mengernyitkan dahi. "Lo ngomong apa? Yang kenceng dikit, sini rame."
Pradipta menggeleng pelan, tak berniat memberitahukan apa yang barusan dia bisikkan.
"Terserah lo!"
Ƹ̵̡Ӝ̵̨̄Ʒ
Di sisi lain, Hazika dan Akira sibuk mengecek ulang barang-barang mereka, khawatir ada yang tertinggal di kereta, karena sebentar lagi mereka akan sampai di stasiun tujuan.
"Udah kamu cek kan? Semua lengkap?" tanya Hazika.
"Iya," jawab Akira singkat.
Saat kereta berhenti, mereka segera turun. Begitu berada di luar, Hazika tersenyum lebar, merasa sangat rindu. Rasanya dia tidak sabar untuk segera merebahkan diri di kasurnya.
"Ayo!" ajak Hazika, sambil berjalan cepat.
Akira mengikuti langkah Hazika dari belakang. "Dari sini kita naik ojol aja, ya? Soalnya nggak ada yang jemput."
"Iya, nggak apa-apa, Ka," jawab Akira menurut, karena kota ini sangat asing untuknya. Ini adalah kali pertama Akira ke kota ini.
Hazika segera memesan mobil untuk mereka berdua. Awalnya ingin memesan motor, tapi setelah melihat barang-barang bawaan mereka, akhirnya dia memilih mobil, lebih simpel.
Tidak lama kemudian, mobil pesanannya datang. Mereka segera naik setelah memasukkan barang-barang ke dalam bagasi, dibantu oleh pak sopir tentunya.
Sepanjang perjalanan ke rumah Hazika, Akira selalu melihat ke luar jendela dengan senyum lebar. Tidak menyangka bisa datang ke kota yang terkenal dengan banyak candi dan sumber air yang dijadikan objek wisata.
"Besok ke umbul yuk!" ajak Hazika.
"Ayo!" jawab Akira antusias. Dia yang memang suka berenang tidak akan menolak tawaran Hazika.
Setelah 20 menit perjalanan, mereka akhirnya sampai di rumah Hazika, disambut oleh paman-bibi Hazika dari pihak ayahnya.
"Akhirnya kalian sampai juga," kata Joko, paman Hazika, dengan senang. "Ayo, masuk dulu!"
Hazika mengangguk, mengajak Akira masuk. Mereka akan tinggal di rumah lama Hazika, yang selama ini dibersihkan setiap minggu oleh paman dan bibi. Syukurnya, rumah mereka tidak jauh dari rumah Hazika, hanya beda desa.
"Maturnuwun, Pakde. Maaf kalau Hazika merepotkan terus," ucap Hazika yang merasa tidak enak hati karena sering merepotkan paman dan bibinya.
"Ndak ngerepotin, Ka. Ayo di minum dulu tehnya," ujar Siti, bibi Hazika, dengan senyum ramah.
"Nggeh, Bude. Maturnuwun," jawab Hazika, sambil menundukkan kepala.
Akira yang tidak mengerti bahasa Jawa hanya bisa diam dan menyimak. Bahasa itu terasa sangat asing baginya, karena dia lebih terbiasa menggunakan bahasa Sunda atau Indonesia saat berbicara dengan keluarga.
"Iki koncomu sekolah nang kono, Nduk?" tanya Joko.
"Nggeh, Pakde," jawab Hazika. "Namanya Akira, teman sekolah Hazika."
Akira tersenyum dan mengangguk saat paman dan bibi Hazika menatapnya. "Masmu tenan ora melu muleh?" tanya bibi Hazika.
"Mboten, Bude. Mas Dewa masih ada kerjaan, nggak bisa ditinggal," jelas Hazika.
"Ooh. Tapi sehat, toh, Nduk?" tanya Joko lagi.
"Alhamdulillah, sehat, Pakde."
"Yowes, istirahat dulu. Bude sama Pakde pamit pulang. Kalau ada apa-apa, kabari, ya," pamit Siti sebelum pulang.
"Nggeh, Bude."
Hazika dan Akira mengantar paman dan bibi hingga ke teras rumah. Saat mereka kembali masuk, banyak tetangga yang keluar hanya untuk melihat mereka.
Dengan sopan, Hazika mengangguk sebagai sapaan sebelum bener-benar masuk ke dalam rumah, lalu mengajak Akira untuk masuk juga. Dia tahu temannya sudah lelah. Apalagi setelah perjalanan panjang, Akira tidak tidur sama sekali.
"Ayo istirahat dulu! Kamu belum tidur dari kemarin," kata Hazika, mengajak Akira.
Akira mengangguk lemas. "Iya. Ini udah ngantuk banget."
"Ganti baju dulu," titah Hazika sebelum Akira merebahkan diri.
"Hem," jawab Akira, lelah.
Melihat Akira yang berjalan dengan malas, Hazika hanya menggeleng pelan. Lebih baik memaksa Akira, daripada tidur gadis itu tidak nyaman karena belum membersihkan diri.
Karena masih jam 8, Hazika memilih membuat makan siang untuk mereka. Sambil menunggu Akira yang kini langsung tertidur setelah membersihkan diri.
"Astaghfirullah." Hazika menepuk dahinya, dia baru teringat belum memberikan kabar pada Dewa.
Dengan sedikit panik, Hazika langsung kembali ke kamar mencari ponselnya. Karena terlalu panik, Hazika sampai lupa jika ponselnya dia charger di dapur. "Astaga Hazika Hazika ... Lain kali jangan panik dulu," gumamnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Embun Hazika✓
Teen FictionEmbun Hazika siswa yang baru pindah. Setelah seminggu masuk sekolah baru, di jatuh cinta pada pandangan pertama. Sayangnya, laki-laki itu terkenal sulit didekati dan seolah tak pernah melihat Hazika, apalagi menatapnya. Namun, Hazika bukan tipe yan...