Anasera Safaluna, hidup dalam belenggu cacian dan tuntutan dari sang ayah yang meminta ia selalu menjadi sempurna. Di tengah segala badai yang gadis itu lalui, ia bertemu dengan Yagiz Nawasena. Pemuda yang berhasil membuat Sera mulai menyukai kehidu...
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar kalian🙌🏻💗
* * *
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kita adalah sebuah kemustahilan yang masih saja terus mengeluh pada takdir agar menjadi mungkin.
****
"Angin berembus tanpa henti, tidak peduli hari itu terik, hujan, atau bahkan badai sekalipun. Angin itu bebas, ia melesat ke seluruh penjuru, tanpa merasa takut sesuatu menghambat jalannya. Tapi, bagaimana jika di sebuah kemungkinan, ia mulai bertemu dengan api? Sebuah api yang berkobar dan tampak berani. Api itu menjalar ke seluruh sisi sama sepertinya, hanya saja api dapat dilihat dan dapat dengan bebas memamerkan kobarannya yang indah. Akankah angin merasa cemburu? Tidak! Sang angin tidak merasa kecil dan cemburu. Angin, tahu ia lebih besar. Angin tidak butuh apapun untuk menyebar, sedangkan api membutuhkan elemen lain untuk membantunya. Angin jauh lebih kokoh dan juga mandiri."
"Selamat pagi Gala Bangsa, gue Rendra, dan selamat beraktifitas."
Pria jangkung dengan hoodie abu itu mengakhiri sesi siaran radionya. Ia melepas headphone miliknya, lalu beranjak ke arah sofa. Tempat di mana seorang pria lainnya tengah berbaring dan tampak frustrasi.
"Lo kenapa, sih?" tanya Rendra.
Pria dengan rambut hitam dan almamater yang menutupi wajahnya itu tampak terus menggerakkan kakinya. Bagai tengah bersusah payah menendang udara di sekitarnya.
"Gue pusing!" keluhnya.
"Soal kegiatan hari Sabtu?" tanya Rendra.
"Nggak! Itu udah rampung semua project-nya."
"Terus? Apa lagi? Lo muntaber?"
"Lo pengen gue jambak, Ndra?"
"Makanya jelasin! Nggak usah ikutin cewe, deh, spesies mereka, tuh, spesies paling susah ditebak yang hidup di bumi!"
"Jadi gini ...." Pria itu bangkit, lalu melemparkan almamater dengan nametag bertuliskan Yagiz Nawasena, ke arah meja.
"Apa? Kenapa lo diem? Mana ceritanya?" tanya Rendra.
"Sabar! Gue lagi narik napas dulu," ujar Yagiz.
"Sera mau balikan sama gue, tapi ...."
Rendra memutar bola matanya malas, lalu meraih sebotol air di hadapannya dan bersiap untuk melangkah pergi. "Males! Lo lelet bener udah kayak bansos!"