09

43 22 14
                                    

Jangan lupa tinggalkan komentar dan vote kalian yah, makasih dan selamat membaca✨💗

*
*
*

Harusnya saat semua terasa terlalu berat dan menyakitkan, aku memberimu ruang untuk menopangku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Harusnya saat semua terasa terlalu berat dan menyakitkan, aku memberimu ruang untuk menopangku. Hanya saja, aku enggan menjadi lemah di hadapanmu yang bahkan lebih hancur dariku.

****

Dua tahun lalu, Yagiz memilih berlari dan menjadi pengecut. Ia memilih meninggalkan Sera, hanya karena ia tidak ingin menjadi luka baru di atas tumpukan luka Sera yang bahkan masih basah. Keputusan paling bodoh dan menyakitkan, pada akhirnya menjadi bagian dari seorang Yagiz Nawasena.

Pemuda itu perlahan mengerjapkan netranya. Menelisik pada setiap sudut berwarna putih di sekitarnya, berhiaskan aroma obat-obatan yang tercium dengan begitu jelas. "Gue di mana?" ujarnya lirih.

"Rumah sakit. Kenapa semua orang yang bangun, selalu punya pertanyaan yang sama?" jawab seorang gadis dari brankar di samping Yagiz.

"Lo siapa?" tanya Yagiz.

Gadis itu mengulurkan tangannya, lalu menggeser tirai yang membatasi mereka. Pandangannya kemudian tertuju pada wajah pucat pemuda yang tampak terkejut itu. "Kenapa? Kenapa muka lo kaget gitu?" tanyanya.

Yagiz menggeleng pelan "Nggak apa-apa."

"Lo sakit apa? Nggak punya keluarga juga?" Gadis itu kembali mengajukan tanya.

"Gue punya keluarga. Bentar lagi mereka pasti datang sambil teriak," jawab Yagiz dengan senyum tipis di wajahnya.

"Kalau gitu lo beruntung. Setidaknya, lo punya keluarga yang bisa ngunjungin lo. Gue harus operasi besok, tapi nggak ada satu pun keluarga gue yang tau," ujarnya.

Yagiz mengerutkan kening. "Keluarga lo mana? Sorry, lo yatim piatu?"

"Nggak! Tapi sejenis itu."

"Ah, gue ngerti. Cewe gue keluarganya juga gitu. Mereka nggak peduli bahkan kalau cewe gue mati hari ini."

"Setidaknya dia punya lo."

Yagiz menggeleng "Gue ninggalin dia. Gue, memilih kabur karena nggak mau jadi beban," jelasnya.

"Beban?"

"Glioblastoma. Penyakit itu udah jadi teman gue sejak dua bulan yang lalu. Gue memilih pergi, jadi nantinya dia nggak perlu tau kalau gue mati."

Gadis itu terdiam. Sungguh, ia pikir hidupnya adalah yang paling berat dan berantakan. Namun, nyatanya akan selalu ada yang lebih tidak beruntung.

"Yagiz!" Teriakan itu menggema, diiringi langkah kaki dari dua orang yang mendekat ke arahnya.

"Papa? Mama?"

His Paper PlanesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang