ㅤㅤINI tahun keempatku. Riuh aula besar mulai menggema kala murid-murid berdatangan masuk dari undakan pualam. Libur musim panas membawakan serentetan cerita dari masing-masing orang, kecuali aku.
Selama musim panas, aku hanya meminta satu hal: dijauhkan dari Albus yang jahil dan Lily yang manja serta sering kali mengusik waktu senggangku.
Oh, sialnya, tahun ini anak kecil manja itu mencapai waktunya untuk datang ke sini ── Hogwarts. Aku hanya berharap agar Lily tidak berada di asrama yang sama denganku. Semoga saja dia mendapatkan asrama yang sama dengan Albus atau James di Gryffindor dan Slytherin.
Ngomong-ngomong, Slytherin sudah tak semengerikan cerita Uncle Ron, meskipun masih ada beberapa Maniak Pemuja Darah Murni yang tersisa. Namun, itu hanya segelintir. Semoga saja memang hanya segelintir.
Aku memandang ke segala arah. Perutku terasa kosong saat menunggu rombongan anak tahun pertama masuk. Namun, secara tak sengaja, pendengaranku menangkap satu nama dari bisik-bisik di sekitarku.
'Mattheo Riddle.'
Tentu saja aku tahu nama itu. Nama belakang orang yang mereka sebut adalah nama yang sama dengan musuh terbesar dunia sihir di masa lalu. Bukan Dad yang menceritakannya padaku, tapi aku sendiri yang penasaran dengan latar belakang Voldemort.
Aku tidak takut menyebut namanya, seperti Dad. Lagipula, Voldemort telah musnah. Melihat orang baru di jajaran kursi staf guru membuatku teringat pada halaman di salah satu buku bertajuk Biografi Dia-Yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut. Dalam buku itu tertulis bahwa Voldemort pernah bekerja sebagai profesor di Hogwarts sebelum akhirnya berubah menjadi iblis tak terkendali.
Pria itu tampak masih muda. Aku tidak tahu banyak tentangnya, tapi jelas ia tidak setua Dad atau Uncle Ron. Meski begitu, dia sepertinya tidak jauh lebih tua dari Uncle Draco yang tetap terlihat tampan meskipun putranya sudah seumuran dengan Albus.
Saat sedang sibuk dengan pikiranku sendiri, pintu aula besar terbuka. Anak-anak tahun pertama berbaris, berjalan di antara meja Gryffindor dan Ravenclaw. Binar antusias terpancar dari wajah-wajah mereka yang cukup lucu ── menurut pendapatku. Dan sesaat setelah aku melihat Lily, aku buru-buru berharap lagi bahwa dia tidak akan satu asrama denganku. Seharusnya sih tidak.
Professor Flitwick berdiri di atas undakan tinggi, dan Topi Seleksi telah diletakkan, bernyanyi riang dengan lagu-lagu baru tiap tahunnya. Aku selalu tidak menyukai suaranya, tapi aku cukup menghargainya dengan berusaha tidak mendengus jengkel.
Setelah si topi tua nan usang itu selesai bernyanyi, Professor Flitwick mulai berbicara, memberi tahu peraturan-peraturan dasar yang selalu sama setiap tahun: siswa hanya diperbolehkan membawa burung hantu, katak, atau kucing ke Hogwarts; siswa harus berada di ruang bersama paling lambat pukul 10 malam; siswa tidak boleh masuk ke Hutan Terlarang tanpa pengawasan profesor, dan sebagainya.
Aku tidak berminat mendengarkan itu semua. Aku selalu bosan duduk di Great Hall saat tahun ajaran baru dimulai.
Mataku mencari-cari objek yang setidaknya tidak semembosankan melihat anak-anak tahun pertama disortir. Pandanganku kembali jatuh pada sosok familiar yang duduk di jajaran staf guru. Seketika aku merasakan sedikit terpaan angin entah dari mana datangnya.
Aku mengerjap. Entah angin apa itu, tapi ketika kerjapan keduaku berakhir, aku mendapati orang yang sedang kupandangi tadi balas menatapku. Tatapan kami bertemu dari kejauhan, dan aku bersumpah melihat kilatan di matanya, seakan-akan ia telah menemukan sesuatu yang dicarinya.
Aku menahan napas beberapa saat sebelum menghembuskannya perlahan. Dengan sedikit usaha, aku memalingkan pandanganku ke arah lain, ke mana saja asal tidak melihat pria itu ── Mattheo Riddle. Namun, yang mampu kulakukan hanya menggeser sedikit tatapanku, dari wajahnya ke jari-jarinya yang terlihat mengetuk-ngetuk meja pelan, seakan sedang menegosiasikan sesuatu.
Tak lama kemudian, jari-jarinya berhenti. Ia menarik tangannya ke bawah meja, ke pangkuannya, seolah menyadari bahwa itu menarik perhatianku. Melihat itu, aku tak bisa menahan kerutan halus di dahiku. Aku selalu payah dalam menyamarkan perasaan melalui ekspresi wajah.
"Lily Potter!"
Dari alam sadarku, aku mendengar Professor Flitwick memanggil nama Lily. Aku merasa seperti mendapat kesempatan untuk berpaling, seakan sedari tadi sama sekali tak mampu melakukannya. Mataku segera beralih pada Lily, yang saat itu sedang dipasangkan Topi Seleksi.
"Another Potter, hmm... Kau seharusnya ku tempatkan di..." Topi itu berbicara dengan nada berpikir. "GRYFFINDOR!" pekiknya.
Senyum cerah tercetak di wajah Lily. Murid-murid Gryffindor menyambutnya dengan riang, dan aku merasa lega. Meskipun Lily yang manja itu kini bersekolah di tempat yang sama denganku, setidaknya kami berbeda asrama. Jujur saja, keresahan kecilku satu-satunya adalah jika harus berbagi asrama dengan Lily atau Albus.
Penyortiran berlanjut. Anak-anak tahun pertama dipanggil silih berganti, dan masing-masing asrama bersorak ceria saat salah satu anak tersortir masuk ke dalam asrama mereka. Aku terpaksa memperhatikan penyortiran itu, takut tatapanku kembali mendarat padanya.
Anak terakhir yang disortir adalah Ignatius Marley, yang mendapat Slytherin sebagai asramanya. Setelah selebrasi kecil dari murid-murid Slytherin, dentingan nyaring sendok dan gelas yang beradu membuat suasana Great Hall kembali sunyi. Professor McGonagall berdiri di atas podium.
"Selamat malam, dan selamat datang kembali ke Hogwarts, murid-murid! Aku tidak akan berbicara lama sebelum kita menyantap makan malam yang lezat. Tetapi, izinkan aku memperkenalkan profesor baru yang akan menggantikan Professor Fortescue sebagai Guru Ramuan ── Professor Riddle!"
Alih-alih tepuk tangan penyambutan yang meriah, saat Professor Riddle berdiri dari kursinya, bisik-bisik murid-murid justru lebih mendominasi. Mau tak mau, aku kembali melihatnya. Ia tidak berbicara sepatah kata pun, hanya berdiri di sana dengan sedikit senyuman yang lebih mirip seringai tipis.
Posisi Guru Ramuan memang sudah tiga kali berganti sejak tahun pertamaku. Namun, James pernah berkata bahwa kursi itu sudah berganti sebanyak lima kali hingga kini. Aneh. Meski begitu, Mum pernah bilang bahwa dulu kursi panas seperti itu lebih sering terjadi pada pelajaran Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam.
Professor Riddle duduk kembali, membenarkan sedikit mantel cokelat gelapnya, yang membuatnya terlihat kuno sekaligus modis. Aku kembali mengingatkan diriku untuk berpaling sebelum tatapan kami bertemu lagi.
Karena aku tidak ingin kembali terkunci pada netra cokelat gelap itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑰𝑳𝑳𝑰𝑪𝑰𝑻 𝑹𝑬𝑽𝑨𝑵𝑮𝑬 | Mattheo Riddle
FanfictionSetelah kematian Horace Slughorn, posisi Profesor Ramuan di Hogwarts menjadi seperti kursi panas, berganti-ganti setiap tahunnya. Mattheo Riddle, yang pernah menjadi murid kesayangan Profesor Slughorn, merasa tergoda untuk melamar posisi tersebut. K...