⋆⁺₊✧ ❝ 𝓣𝓪𝔀𝓪 𝓹𝓪𝓰𝓲 𝓵𝓮𝓷𝔂𝓪𝓹, 𝓭𝓲𝓰𝓪𝓷𝓽𝓲𝓴𝓪𝓷 𝓽𝓮𝓻𝓲𝓪𝓴𝓪𝓷—
𝓼𝓮𝓼𝓮𝓸𝓻𝓪𝓷𝓰 𝓽𝓪𝓴 𝓵𝓪𝓰𝓲 𝓭𝓲 𝓽𝓮𝓶𝓹𝓪𝓽𝓷𝔂𝓪.
𝓨𝓪𝓷𝓰 𝓽𝓮𝓻𝓼𝓲𝓼𝓪 𝓱𝓪𝓷𝔂𝓪𝓵𝓪𝓱 𝓼𝓸𝓼𝓸𝓴 𝓴𝓮𝓬𝓲𝓵...
𝓭𝓮𝓷𝓰𝓪𝓷 𝓶𝓪𝓽𝓪 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓽𝓮𝓻𝓪𝓼𝓪 𝓯𝓪𝓶𝓲𝓵𝓲𝓪𝓻.
𝓘𝓪 𝓫𝓲𝓵𝓪𝓷𝓰, 𝓽𝓪𝓴 𝓪𝓭𝓪 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓫𝓮𝓻𝓾𝓫𝓪𝓱.
𝓣𝓪𝓹𝓲 𝓫𝓮𝓷𝓪𝓻𝓴𝓪𝓱? ❞ ✧₊⁺⋆
⋆⁺₊✧ ❝ 𝓓𝓲 𝓹𝓪𝓰𝓲 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓽𝓪𝓶𝓹𝓪𝓴 𝓫𝓲𝓪𝓼𝓪,
𝓼𝓮𝓼𝓾𝓪𝓽𝓾 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓽𝓪𝓴 𝓫𝓲𝓪𝓼𝓪 𝓹𝓾𝓷 𝓭𝓲𝓶𝓾𝓵𝓪𝓲. ❞ ✧₊⁺⋆
"Bagaimana bisa seperti ini?" tanya Lex dengan nada tak percaya. Ia duduk di sofa ruang tamu, tubuhnya menegang, kedua tangannya bertumpu pada lutut. Matanya menatap tak lepas ke arah seorang anak kecil yang tengah mengayun-ayunkan kakinya dengan santai di sofa seberang. Anak itu tampak tidak terganggu oleh tatapan intens yang mengelilinginya, seolah semua ini bukan masalah besar.
"Entahlah, Hyung," sahut Leo sambil menghela napas panjang. Rambutnya masih agak basah, dan ada bercak sabun yang belum sepenuhnya hilang di belakang telinganya. "Saat kami menemukannya, dia sudah seperti ini. Sing yang pertama kali melihatnya."✧༚˚
Teriakan melengking membangunkan hampir semua penghuni rumah itu.
"AAAHHH!!"
Suara Sing terdengar seperti alarm kebakaran. Leo, yang saat itu sedang di kamar mandi, langsung melongok keluar dengan panik. Tubuhnya masih basah, hanya terbungkus handuk di pinggang, dan rambutnya penuh busa sampo. Tanpa pikir panjang, ia melesat ke kamar Sing.
"Sing! Ada apa?! Kenapa kau teriak seperti orang kesurupan?!"
Sing berdiri di sudut ruangan, tubuhnya kaku seperti patung, wajahnya pucat pasi. Ia bahkan tidak menoleh. Dengan tangan gemetar, ia menunjuk ke arah tempat tidur.
"Itu..." katanya, suaranya nyaris seperti bisikan hantu.
Leo mengikuti arah telunjuknya. Di atas tempat tidur, seorang anak laki-laki duduk sambil memandang mereka berdua dengan tatapan bingung. Anak itu mengenakan piyama besar yang tampak seperti milik Zayyan—tapi terlalu longgar untuk tubuh mungilnya.
"Siapa anak ini?" tanya Leo, nadanya bercampur antara terkejut dan kebingungan. Detak jantungnya terdengar di telinganya sendiri.
Sing menggeleng keras. "Aku tidak tahu! Awalnya aku mau bangunin Zayyan. Tapi saat kulihat tempat tidurnya, yang ada malah bocah ini. Aku langsung teriak!"
Leo melangkah hati-hati, mendekat. "Hei, siapa kamu?"
Anak kecil itu menunjuk dirinya sendiri. "Aku?"
"Iya, kau," timpal Sing, masih gemetar.
Anak itu mengangguk polos. "Aku Zayyan."
Ruangan itu langsung sunyi. Bahkan kipas angin di langit-langit terdengar lebih keras dari napas mereka.
Leo dan Sing saling berpandangan, lalu serempak berteriak, "HAH?!! Tidak mungkin!"
Leo menatap lebih dekat, mencoba mencari celah logika. “Zayyan itu dewasa! Dia tinggi, suaranya berat! Bukan seperti ini.”
Zayyan kecil mendengus kesal. "Sudah kubilang, aku Zayyan!" Suaranya meninggi seperti bocah ngambek, tapi ada ketegasan yang aneh di dalamnya—seperti orang dewasa yang terjebak dalam tubuh kecil.

KAMU SEDANG MEMBACA
9 hati
Random❝ Dalam dunia yang tampak biasa, sembilan hati terikat oleh waktu dan takdir. Satu per satu rahasia masa lalu terbuka, membawa mereka pada jawaban yang tak pernah mereka duga. ❞ Waktu dan Takdir 9 Hati bukan sekadar kisah pertemuan-ini tentang ikata...