Dunia di Balik Kaca

1 0 0
                                    

Raya selalu memulai harinya dengan memandangi dunia dari balik kaca jendela besar di kamarnya. Di luar, ada taman kecil yang dikelilingi pagar besi hitam. Daun-daun hijau bergoyang ditiup angin, seolah menari untuk menyambut hari baru. Bagi kebanyakan orang, taman itu mungkin hanyalah pemandangan biasa. Tapi bagi Raya, taman itu adalah jendela menuju kebebasan yang tidak pernah bisa ia capai.

Sejak kecil, tubuh Raya lemah. Dokter bilang ia lahir dengan kelainan yang membuatnya tidak bisa terlalu aktif. Berlari, melompat, atau bahkan berjalan terlalu lama adalah hal-hal yang tidak mungkin baginya. “Raya harus banyak istirahat,” itu yang selalu ditekankan dokter pada keluarganya. Dan begitulah hidup Raya—terperangkap di dalam kamar dengan jendela besar sebagai satu-satunya penghubungnya dengan dunia luar.

Raya suka memperhatikan orang-orang yang melewati taman. Ada seorang ibu yang sering membawa anak kecil bermain di ayunan, pasangan muda yang suka duduk di bangku taman sambil tertawa, dan seorang pria tua yang setiap sore memberi makan burung. Meski tidak mengenal mereka, Raya merasa seperti bagian dari cerita mereka. Ia memberi nama pada setiap orang yang sering ia lihat: Ibu Ayunan, Pasangan Bahagia, dan Kakek Burung.

Namun, ada satu orang yang menarik perhatian Raya baru-baru ini. Seorang anak laki-laki seusianya sering datang ke taman sendirian, membawa sebuah buku. Ia duduk di bawah pohon besar, membacanya dengan suara pelan. Kadang, ia tersenyum sendiri, kadang terlihat serius. Raya belum memberinya nama. Anak itu terasa berbeda, seperti teka-teki yang belum terpecahkan.

Hari itu, ketika matahari mulai naik dan burung-burung berkicau riang, Raya melihat anak laki-laki itu lagi. Ia mengenakan kaos putih lusuh dan celana pendek cokelat. Rambutnya acak-acakan, tetapi matanya tajam, penuh kehidupan. Anak itu duduk di tempat yang sama—di bawah pohon besar di dekat ayunan.

“Siapa dia? Kenapa dia selalu sendirian?” gumam Raya pelan. Ia merasa ada sesuatu yang spesial dari anak itu, sesuatu yang membuatnya berbeda dari orang lain yang sering datang ke taman.

Tiba-tiba, anak laki-laki itu mendongak. Mata mereka bertemu—Raya di balik kaca, dan anak laki-laki itu di bawah pohon. Detik itu terasa seperti berhenti. Raya terkejut dan segera bersembunyi di balik tirai, hatinya berdegup kencang. “Dia melihatku,” bisiknya, setengah panik, setengah penasaran.

Setelah beberapa menit, ia mengintip lagi. Anak laki-laki itu masih di sana, tetapi kali ini ia tersenyum. Senyum kecil, hampir tak terlihat, tapi cukup untuk membuat Raya merasa ada sesuatu yang berubah. Dunia di balik kaca itu tiba-tiba terasa lebih dekat, seolah-olah jarak antara dirinya dan taman itu tidak lagi sejauh biasanya.

Hari itu, untuk pertama kalinya, Raya merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ada cara untuk keluar dari dunianya yang sempit. Dan semuanya dimulai dari anak laki-laki di bawah pohon itu.

Hari-Hari di Balik Jendela.  Where stories live. Discover now