3

41 9 84
                                    

"Gimana? Enak?"

"Lumayan. Mirip pancake ya, tapi ini lebih tebel."

"Iya mirip dikit."

"Kamu juga makan dong."

Jay memindahkan potongan martabak miliknya di tangan kanannya itu ke tangan kiri, kemudian tangan kanannya yang telah bebas mengambil kotak kemasan martabak di meja dan menyodorkannya pada Kajesha, meski ia hanya memandang ke depan, tak menolehkan kepala kemanapun. Kajesha yang sudah ditawari begitu langsung menerimanya, ikut menyantapnya. Kemudian ia letakkan kembali kotak itu di meja.

"Ini padahal terkenal dan enak banget. Sia-sia kalo selama hidup kamu gak nyobain ini," pungkas gadis itu, menghabiskan sepotong martabak di tangannya.

"Aku mau beli lagi deh, buat dibawa besok," ujar Jay tiba-tiba membuat Kajesha mengerutkan kening.

"Besok? Kamu mau kemana?"

"Balik ke rumah paman aku, Jeje."

Ini mengejutkan, meski kata terakhir Jay membuat hatinya sedikit bergejolak. Pemuda itu pun mengikuti anak-anak panti yang memanggilnya dengan nama Jeje. Agak terdengar berbeda sebab kali ini nama itu disebut dengan suara berat lelaki.

"Kok cepet banget?" gadis itu tak menyangka, rasanya baru kemarin ia berkenalan dengan Jay.

"Cepet dari mana, Je? Aku udah semingguan disini," Jay terkekeh. Seminggu itu cukup lama baginya, biasanya ia hanya nginap disini paling lama 3 hari, sebab ia tak mau membebani ibunya yang harus memesankannya ojek untuk mengantarnya ke sekolah.

Sebenarnya cara yang paling simpel untuk Jay adalah tinggal di asrama sekolahnya. Sehingga ia tak perlu pulang-pergi antara sekolah dan rumah. Untungnya pamannya yang berbaik hati itu mau mengantarnya ke sekolah setiap hari, begitupun saat pulang. Namun jika ia di rumah sang ibu, panti asuhan, maka ia memerlukan jasa ojek. Tak mungkin bagi Jay untuk berjalan kaki, jaraknya terlalu jauh.

Kecualikan hari ulang tahun sang ibu beberapa hari lalu. Entah keberanian dari mana yang ia dapat hingga mampu mendorongnya berjalan kaki saat pulang sekolah agar bisa pergi ke toko kue. Meski hasilnya naas.

"Yaudah, aku ikut nganter ya?"

Jay sontak membelalakkan mata. "Eh, gak usah," tolaknya.

"Kok gitu? Kamu gak mau dianterin aku?"

"Bukan gitu. Tapi kamu gak perlu repot-repot."

"Gak repot, Jay. Boleh ya?"

"Gak," Jay menggeleng kuat-kuat. Sungguh, dia tak ingin Kajesha sampai repot mengantarnya segala.

Dan jawaban singkat itu membuat Kajesha melengkungkan bibirnya ke bawah, kecewa tak diijinkan ikut mengantar Jay. Jika Kajesha bisa meminta, ia ingin Jay disini lebih lama.

Hei, pertemanan mereka baru satu minggu terjalin. Kajesha masih ingin punya waktu bermain dengan Jay.

"Terus nanti kalo aku mau ketemu kamu gimana?" tanya Kajesha masih dengan raut sedihnya.

"Ya tinggal ke rumah pamanku."

"Tapi aku nggak tau rumah paman kamu itu dimana."

"Nanti kan bisa aku kirimin alamatnya."

"Yaudah, iya."

Jay menyadari suara khas gadis itu terdengar lesu, sangat berbeda dengan beberapa saat lalu yang terdengar ceria dan antusias. Kalian harus tahu bahwa Kajesha punya power suara yang besar, sehingga cukup melengking jika gadis itu sedang bersemangat.

Dan kini Kajesha jelas sedih mendengar kabar kembalinya Jay ke rumah pamannya esok. Ayolah, ia pindah ke rumah pamannya, bukan ke luar negeri.

"Nanti aku telfonin deh," kata Jay menenangkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I'll See YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang