Langit malam meneteskan hujan, namun Lyra tak merasakan dinginnya. Hatinya lebih beku daripada udara yang menusuk kulitnya. Di ruang kerjanya yang sunyi, ia duduk terdiam di depan komputer, tanpa bisa menulis satu kata pun. Kepalanya penuh dengan kenangan, kenangan yang tak lagi bisa ia sentuh.
Kael-nama itu terus terngiang, merasuk dalam pikirannya, seperti racun yang tak bisa disingkirkan. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali mereka bertemu, sejak terakhir kali dia mendengar suara Kael yang penuh tawa, sejak kecelakaan yang mengubah segalanya. Dulu, mereka berdua adalah satu-satunya dunia bagi satu sama lain. Mereka berjanji untuk selalu bersama, menjaga satu sama lain.
Tapi itu dulu. Sekarang, Kael tidak ada lagi.
"Kael..." Lyra berbisik, seolah berharap namanya bisa memanggil kembali kenangan yang sudah lama hilang. Tapi kenangan itu tak akan kembali. Tidak dengan cara ini.
Kecelakaan itu-hari yang mengubah seluruh hidupnya-terjadi lima tahun lalu. Itu adalah malam yang akan ia kenang seumur hidupnya. Malam itu, mobil yang membawa orang tuanya tergelincir di jalan yang licin akibat hujan deras, meluncur keluar jalur dan menabrak pohon besar. Lyra yang berada di belakang, berlari ke arah tempat kejadian, dengan harapan bisa menyelamatkan mereka. Namun yang ia temui hanya darah, kaca pecah, dan dua tubuh yang tak lagi bernyawa.
Orang tuanya pergi begitu saja dalam sekejap. Dunia yang ia kenal hancur, dan ia hanya bisa mematung di sana, menatap tubuh orang tuanya yang sudah kaku. Tanpa mereka, dunia terasa kosong, gelap, dan penuh kehampaan. Namun, yang lebih memilukan adalah kenyataan bahwa Kael juga ada di sana malam itu.
Kael berada di dalam mobil yang sama, duduk di kursi depan bersama ayah Lyra, sementara ibunya duduk di kursi belakang, berbicara dengan Lyra yang duduk di sebelahnya. Tak ada yang tahu bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi-tak ada yang tahu apakah Kael sempat menyadari bahaya yang akan datang. Yang pasti, saat mobil terbalik dan menabrak pohon, Kael juga ikut terluka.
Lyra menemukan Kael tak sadarkan diri di dekat tubuh ayahnya, darahnya bercucuran. Lyra, yang dengan naluri menyelamatkan, segera berlari menuju Kael dan berusaha memberikan pertolongan pertama. Namun, saat itu, Kael pun hampir kehilangan nyawanya.
Beberapa hari setelah kecelakaan itu, saat Kael terbangun di rumah sakit dengan ingatan yang kabur, semuanya terasa asing. Ia tidak ingat apa yang terjadi dengan jelas. Yang ia tahu hanyalah rasa sakit yang mendalam di tubuhnya dan perasaan hampa yang tak bisa ia jelaskan.
Namun, ada satu hal yang membuatnya merasa terjebak-rasa bersalah yang menggerogoti hatinya. Ia merasa bahwa kecelakaan itu adalah salahnya. Jika saja ia bisa mencegahnya, jika saja ia bisa lebih berhati-hati, orang tuanya Lyra pasti tidak akan pergi, dan Lyra tidak akan merasakan kehilangan seperti ini. Kael merasa seolah ia telah merenggut kebahagiaan Lyra.
Saat ia melihat Lyra di sisi tempat tidurnya, dengan wajah yang terhiasi air mata, ia merasa dunia ini sangat tidak adil. Lyra yang dulu begitu ceria, yang selalu bersama dengannya, sekarang harus menanggung beban kesedihan yang begitu berat. Dan Kael merasa bahwa dirinya adalah sumber dari semua itu.
"Kael, jangan tinggalkan aku," kata Lyra saat ia berusaha menggenggam tangan Kael yang masih terikat infus.
Kael menatapnya dengan penuh rasa sakit. Mata Lyra yang penuh harapan itu membuatnya semakin merasa bersalah.
"Aku..." Kael terdiam, suaranya tercekat. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin mengatakan bahwa ia akan tetap ada untuknya. Tapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya. Yang ada hanya rasa kosong yang terus menggerogoti dirinya.
"Kael..." suara Lyra kembali memanggilnya, kali ini penuh dengan keputusasaan. Namun Kael hanya bisa menunduk, merasakan rasa sakit yang lebih besar di dalam hatinya.
Saat itu, dalam hatinya yang kacau, Kael membuat keputusan yang sulit. Ia harus pergi. Tidak untuk melupakan Lyra, bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena ia merasa dirinya adalah beban. Ia merasa bahwa jika ia tetap berada di dekat Lyra, rasa bersalah itu akan terus menghantuinya, dan Lyra pun akan selalu berada dalam kesedihan.
Kael berusaha menahan air matanya.
"Aku pergi, Lyra. Aku harus pergi," katanya dengan suara yang hampir tak terdengar.
"Apa yang kamu katakan?" Lyra bertanya, hampir tak percaya.
"Aku harus pergi. Kamu... kamu lebih baik tanpa aku. Aku hanya akan membuatmu lebih sakit," jawab Kael, mencoba beranjak dari ranjang, meski tubuhnya masih lemah.
Tanpa mengucapkan kata lain, Kael meninggalkan Lyra, meskipun itu adalah keputusan yang sangat berat baginya. Ia merasa bahwa satu-satunya cara untuk melindungi Lyra adalah dengan menjauh darinya. Meskipun hati Kael terasa hancur, ia merasa bahwa ia tidak punya pilihan lain.
---
Setelah Kael pergi, Lyra tidak tahu apa yang harus dilakukan. Setiap hari terasa kosong. Ia mencoba mencari Kael, menghubunginya, tetapi Kael seolah menghilang dari dunia ini. Tidak ada jejak, tidak ada kabar. Seolah Kael lenyap begitu saja.
Tapi meskipun Kael menghilang, bayangannya selalu ada. Lyra tahu, meskipun Kael pergi, kenangan mereka-kenangan masa kecil mereka yang penuh dengan janji dan tawa-akan selalu hidup dalam hatinya. Namun, semakin lama ia mencari, semakin ia merasa bahwa mungkin Kael tidak ingin ditemukan. Dan mungkin, Kael merasa bahwa ia tidak pantas lagi untuk berada di dekatnya.
---
Kael di sisi lain, meskipun menghilang, tidak pernah melupakan Lyra.
Tinggal di kota yang jauh, Kael merasa hidupnya kosong. Ia berusaha untuk memulai kembali, namun rasa bersalah dan kenangan tentang Lyra selalu menghantuinya. Kenangan tentang tawa mereka, tentang janji yang mereka buat di bawah pohon besar, tentang masa kecil yang penuh kebahagiaan, semuanya terjebak di benaknya. Ia tak bisa menghapusnya, meskipun ia mencoba.
Namun, meskipun Kael tidak mengingat banyak hal, ada satu hal yang pasti-perasaan itu tidak pernah hilang. Ia merasa terikat pada Lyra, meskipun ia tak tahu mengapa. Dan setiap kali ia terbangun di malam hari, teringat pada wajah Lyra yang penuh harapan itu, Kael merasa bahwa ia telah merindukan sesuatu yang sangat berharga-sesuatu yang telah ia tinggalkan begitu saja.
Namun, Kael masih merasa bahwa ia tidak bisa kembali. Ia masih merasa bahwa ia adalah sumber dari semua penderitaan yang dialami Lyra. Perasaan itu menggerogoti dirinya setiap saat, dan ia tahu bahwa ia tidak bisa mengubah masa lalu.
---
Akankah mereka pernah bertemu lagi?
Ruang kosong yang terasa di antara mereka berdua mungkin hanya bisa diisi dengan waktu. Meskipun masa lalu mereka penuh dengan kenangan manis, sekarang mereka berdua terjebak dalam dunia yang penuh dengan kesedihan dan rasa bersalah. Tapi mungkin, suatu hari, mereka akan menemukan jalan kembali, meskipun tak ada jaminan bahwa mereka bisa kembali seperti dulu.
Namun, satu hal yang pasti-meskipun Kael menghilang, dan Lyra berjuang sendirian, kenangan mereka akan selalu hidup di hati masing-masing. Dan mungkin, suatu hari nanti, mereka akan bertemu kembali, meskipun tak ada yang tahu kapan atau bagaimana.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
TANPA KAEL
Romantik"Selamanya, Lyra, Setiap detik bersamamu adalah kenangan yang tak ingin kutinggalkan kau adalah bagian dari diriku yang tak tergantikan, rumah yang selalu kucari."