Dua

121 3 0
                                    

Suara berisik kendaraan dapat didengarnya. Ethan mendengus kesal karena untuk kesekian kalinya, tidurnya telah diganggu oleh suara menyebalkan itu. Ia bangkit dan menuju kamar mandi. Laki-laki itu memang pemalas namun ia paling benci bila ia kotor. Setelah membersihkan dirinya, ia berpakaian dan menuju dapur kecil yang ada di apartemen itu. Sebuah note tertempel di pintu kulkas dan kerutan langsung muncul di antara alisnya setelah ia membacanya.

Aku membuang semua minuman keras yang kau beli, termasuk yang kau sembunyikan di bawah tempat tidurmu dan jangan coba-coba untuk membelinya lagi. Ada makanan di kulkas, panaskan sebelum kau makan.

-Sarah

Ethan meremas kertas itu dan membuangnya sembarangan. Dibukanya pintu kulkas dan mengeluarkan piring berisi omelette serta sebotol air dingin karena itu satu-satunya yang tertinggal di sana. Setelah memanaskan makanan ia langsung melahapnya hingga habis dan meminum air dari botol bening itu tanpa tersisa. Ia meninggalkan piring kotor dan gelas kosong di atas meja begitu saja dan kembali ke kamarnya.

Matanya menangkap buku gambar yang tergeletak begitu saja di atas mejanya. Ia mengambilnya lalu duduk di tempat tidurnya, membukanya.

Dilembar pertama adalah gambar seekor burung, burung robin lebih tepatnya. Ia ingat di mana ia menggambarnya, yaitu di sebuah gereja yang berada tiga blok dari rumah lamanya. Dilembar kedua adalah gereja itu sendiri, gereja kuno yang memiliki arsitektur yang membuatnya terkagum-kagum bahkan hingga saat ini juga.

Pada lembar-lembar lainnya terdapat berbagai macam gambar yang tak selesai, bahkan mungkin lebih cocok disebut sebegai sketsa dibandingkan sebuah gambar. Begitu ia sampai di tengah halaman, ia terpaku untuk beberapa saat sebelum akhirnya kembali membalik lembar-lembar lainnya yang memiliki gambar dengan obyek gambar yang sama.

Ethan menghela nafas dan menutup buku yang ada di depannya. Ia berbaring dan menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya melayang ke tempat lain. Ke tempat-tempat yang sudah lama sekali tidak ia pikirkan dan tidak pernah ia bayangkan kalau ia akan memikirkannya kembali.

"Dasar pemalas, ayo bangun!"

Ethan mendesah lalu terduduk. Suara tawa terngiang dikepalanya namun ia membiarkannya. Ia bangkit dan mengenakan jaket serta syal lalu pergi keluar dari apartemen kecil tempat ia tinggal. Angin dingin langsung menampar wajahnya yang memerah dan dengan langkah berat ia mulai bergerak.

Saat itu masih jam makan siang maka tak heran bila jalanan masih ramai dengan orang-orang yang berlalu-lalang. Laki-laki itu tidak memerhatikan kemana ia berjalan atau pun orang-orang yang dilewatinya. Sudah kesekian kalinya ia beradu bahu dengan orang yang dilewatinya namun semua tatapan serta umpatan yang dilemar oleh mereka tidak dipedulikannya.

Setelah melewati beberapa blok ia pun sampai ke tempat yang ditujunya.

Brompton Cemetery.

Kaki yang sebelumnya berhenti sejenak kembali ia perintahkan untuk bergerak memasuki pemakaman itu. Matahari hanya mengintip di antara awan membuat suasana pemakaman indah itu terasa sendu dan suram. Ethan terus berjalan hingga ia sampai di depan batu nisan yang bearada tepat disamping sebuah pohon besar.

Ethan menuju pohon itu dan duduk di bawahnya. Ia memeluk kakinya lalu membiarkan kepalanya berbaring di atas lututnya. Matanya menatap batu nisan yang ada di sebelahnya dan dengan sebuah senyuman dibayangkannya, ia pun tertidur.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 21, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Amazing GraceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang