Satu

179 7 1
                                    

December, 21th 2013

Sudah hampir satu tahun berlalu sejak kejadian mengerikan itu, namun luka yang berbekas pada laki-laki itu masih tetap terasa hingga sekarang. Mata biru sendu itu menatap langit yang berwarna kelabu itu dengan senyum tipis yang menyindir terukir perlahan dibibirnya.

Bahkan langit pun seolah mengejekku.

Ia berusaha bangkit secara perlahan dan dengan tubuh yang masih oleng, ia berjalan menuju kulkas yang berada tak jauh dari tempatnya berbaring tadi. Dibukanya pintu kulkas itu dan mengeluarkan sebotol minuman keras. Tanpa pikir panjang, ia langsung menegaknya hingga setengah isi botol itu habis.

Seorang wanita yang kini sudah menginjak umur 25 tahun itu membuka pintu dan terkejut dengan pemandangan yang dilihatnya.

"Ethan!" serunya marah.

Ia segera merebut botol yang dipegang laki-laki itu dengan kasar dan dengan mata yang bersinar nyalang, ia menatap laki-laki tak berdaya itu.

"Apa kau sudah gila?! Sudah kukatakan, kan, berhentilah meminum minuman rusak ini! Kenapa kau tidak pernah mendengarkanku?!"

"Karena aku sudah tidak peduli! Kenapa kau tidak pernah mendengarkanku?!" sahutnya dengan nada sinis.

Ia mendorong wanita itu dan memasuki kamarnya, menguncinya. Ia melempar tubuhnya yang sudah terasa lemas ke atas kasur dan menenenggelamkan wajahnya ke dalam bantal, berusaha menyembunyikan tangisnya yang perlahan-lahan memecah.

Ia sudah tidak peduli.

Ia sudah tidak peduli dengan apa yang akan terjadi.

Tapi,

Apa benar itu yang diinginkannya?

***

Seorang gadis muda terlihat sedang duduk di sebuah taman yang tak jauh dari rumahnya yang bercat putih. Dagunya yang terangkat membuatnya terlihat percaya diri dan angkuh, meski bukan kesan itu yang ingin ditinggalkannya. Dengan mata berwarna kelabu yang sudah berfungsi itu ia selalu menatap lurus, berharap menemukan secercah cahaya meski ia tahu itu tidak mungkin terjadi.

Sebuah bunyi terdengar dari jam tangan yang dikenakannya. Gadis itu tersadar dari lamunannya dan segera berdiri. Ia melangkah pergi dari taman itu dan kembali ke dalam rumahnya, mengambil sebuah tas biola yang ia letakkan di ruang tamu.

"Emma,"

Gadis berambut coklat itu menoleh arah datangnya suara itu. Rachel, bibinya yang sudah dianggapnya ibu itu, menghampirinya dengan kekhawatiran tertulis diwajahnya.

"Kamu ingin pergi? Mau Bibi temani?" tanya wanita berambut coklat itu.

Emma tersenyum lalu menggeleng pelan. "Tidak perlu, Bi. Aku sudah hafal jalannya," jawabnya meyakinkan wanita di depannya. "Aku tidak lama kok. Bibi tidak perlu khawatir,"

Rachel menghela nafas menyerah. "Baiklah, hati-hati ya."

Emma mengangguk lalu berjalan keluar dari rumahnya. Dengan bantuan tongkat yang digunakan sebagai pemandunya, ia berjalan menyusuri kota London.

Setelah sepuluh menit berjalan, ia pun sampai di tujuannya. Ia dapat mencium bau rumput yang basah karena hujan semalam dan merasakan suasana sepi yang membuatnya tenang. Belok kiri lalu ke kanan lalu lurus dan terakhir belok ke kiri.

Emma dapat merasakan rumput yang diinjaknya. Dengan senyum tipis terukir dibibirnya ia berdiri di depan sebuah batu nisan yang hampir setiap hari dikunjunginya.

"Hi, Kyle." Sebuah senyum terukir dibibirnya. "It's been a while, huh?"

Amazing GraceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang