"Siapa yang ingin di lahirkan?"
"Aku tidak ingin di lahirkan."
"Aku tidak ingin terlahir jika ini yang aku rasakan."
"Sepertinya aku bukan anakmu, dan kamu bukan ibuku."
"Ibu macam apa kau ini?"
Siang itu bel berbunyi, menandakan bahwa aktifitas belajar mengajar telah berakhir.
Salah satu kelas bertanda Kelas III sangat bising, suara grusak-grusuk dari dalam memberitahu kita bahwa mereka sedang membereskan alat tulis, dan berburu untuk cepat-cepat pulang. Semua murid di dalam kelas itu menyukai jam pulang sekolah.
"Woy, jangan lupa ya? Nanti jam 2 siang kita ke lapangan, main bola sama bagian Rudi. Orang itu nunggu di sana nanti." teriak salah satu murid kepada beberapa teman sekampungnya yang sekelas dengan nya.
"Wokeh." jawab mereka.
Ada satu murid perempuan yang terlihat murung di meja depan, dia adalah Hira. Bel pulang sekolah adalah bel yang tidak ia sukai, sebab bel tersebut memberitahukan bahwa masa bermainnya telah berakhir dan kembali ke rumah.
"Enak, ya. Pulang sekolah bisa main-main lagi. Aku di rumah pulang sekolah harus bantu-bantu ibukku dulu, belum lagi selalu kenak marah. Sikit-sikit di marahin, sikit-sikit di bentak. Ga pernah di bolehin main-main soalnya bentar lagi katanya ibuk lahiran," grutu Hira.
Rini yang mendengarnya seperti tak terima dan menjawab perkataan Hira, "gitu masih mending, masih beruntung punya ibuk, di sayangi, jangan di sakiti apalagi kau mau punya adek lagi. Aku aja anak yatim piatu pengen punya ibuk, pengen ada adek juga biar ada temen, aku selalu kesepian tinggal sama uwakku. masa kau yang masih punya orang tua ngeluh, sih? lagian, ya, namanya juga ibuk-ibuk wajar aja kalo suka marah-marah, apa lagi kalo kau bandel, Ra. Dan, ibukmu marah juga demi kebaikanmu, kan? Nanti kalo ibukmu udah gak ada baru kau nyesel!"
Rini teman sebangkunya merasa bahwa Hira seperti tak bersyukur di beri keluarga yang utuh, dia membandingkan dengan dirinya yang tinggal bersama paman dan bibiknya.
Hira menghela nafas panjang, "iya, Rin. Kamu benar, mungkin aku memang bandel di mata ibukku." jawabnya.
Hira menatap nanar papan tulis kelas, pikirannya memutar kembali atas kejadian semalam. Kejadian yang membuat pahanya lebam bekas cubitan ibunya, hanya karena dia lupa memasak nasi, ibunya langsung marah dan berujung mencubit pahanya. Tangan kanan Hira berhenti memasukkan buku tugasnya ke dalam tas, dia merasakan paha yang masih terasa denyut.
"Yaudah, gitu aja, kok, sedih, banyak-banyak bersyukur, Ra," ucap Rini, ia kembali pada kesibukannya merapihkan isi tas.
"Hira, aku deluan, ya? Uwakku kayaknya udh jemput di depan, deh." pamit Rini berlari melambaikan tangannya ke arah Hira.
Hira tersadar mendengar suara Rini, dan bergegas memasukan buku-buku tugasnya.
Hira membalas lambaian Rini. "Iya, hati-hati, Rin." teriak Hira.
***
Kini Hira duduk di bawah pohon mangga pinggir jalan, tempat para murid menunggu angkot setelah pulang sekolah. Hira pergi ke sekolah diantar ayahnya, dan pulang dengan naik angkot. Hira mulai belajar naik angkot saat kelas 2 SD, sebab selalu saja ayahnya telat menjemputnya membuat dia merasa lapar menunggu lebih dari dua jam.
Suatu hari temannya bernama Devi yang searah jalan pulangnya dengan Hira mengajaknya untuk naik angkot, dan Hira pun memberanikan diri pulang naik angkot. Sejak saat itu Hira, ayah dan ibunya pun sudah terbiasa dan tidak menjemputnya lagi. Tapi hari ini Devi bilang ke Hira kalau ia di jemput ibunya karena ada keperluan, jadilah Hira menunggu angkot sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia itu Indah
Non-FictionHira Akshaya, gadis kecil yang selalu mendapat perlakuan abusive dari ibunya, baik verbal maupun fisik, dan selalu merasakan kesenjangan emosional saat berada di dekat ibunya. Selama bertahun-tahun Hira merasakan perlakuan abusive dari ibunya, sehin...