ثُمَّ اَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ الْغَمِّ اَمَنَةً نُّعَاسًا يَّغْشٰى طَۤاىِٕفَةً مِّنْكُمْۙ...
Setelah kamu ditimpa kesedihan, kemudian Dia menurunkan rasa aman kepadamu (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari kamu ....
Qs: Ali imran,154***
Tersenyum dan memberi semangat pada diri sendiri, berpura-pura seperti tak terjadi apapun adalah hal yang sangat berat untuk di lakukan oleh anak kecil. Bahkan orang dewasa saja sering merasa depresi dengan segala problematika hidup. Tak ayal banyak yang mengakhiri hidup mereka karena tak sanggup menjalankan ujian dari Tuhan.
Namun tidak berlaku untuk Hira itu sendiri, ia sudah terbiasa untuk terlihat baik-baik saja. Percuma memberitahukan apa yang dia rasakan kepada orang sekitarnya, sebab tak ada yang peduli dan mengerti dirinya. Lebih baik berpura-pura baik-baik saja dan bermain bersama teman di sekolah tanpa membawa beban pikiran dari rumah.
Wajah mungil berbedak tebal. Berbalut jilbab paris putih bersih yang berkibar tertiup angin. Duduk di belakang ayahnya, termenung menatap kosong ke jalanan bawah. Hatinya bersedih pagi itu, sama seperti mendung yang gelap.
Aspal seperti bergerak ke kanan dan ke kiri, maju lagi laju, penampakan yang bagus untuk menghantar tidur. Udara sejuk membuat gadis kecil itu kedinginan, tangannya putih pucat. Dia gosok telapak tangannya dan ia dekapkan tangannya, sampai ia terasa nyaman.
Begitu kehidupan di desa yang masih banyak pepohonan. Pagi akan terasa sejuk, sangat menusuk tulang. Perlahan rasa ngantuk menghampiri mata Hira.
Hasan menyadari bahwa tak ada pergerakan dari anaknya di belakang.
"Nak? Hira tidur?" tanya Hasan memelankan laju sepeda motor.
"Engga, Yah. Hira engga ngantuk," jawabnya berbohong.
"Ayah minta maaf, ya, Nak. Pagi tadi bersikap sedikit kasar sama Hira. Ayah tau Hira pasti sedih, kan?"
"Engga, Yah. Hira ga apa-apa, kok,"
"Hira tau ... Hira salah."Rasa ngantuk Hira hilang, berganti dengan rasa sakit di hatinya. Tiba-tiba saja teringat apa yang terjadi pagi tadi.
"Bangun!"
Hanya satu kata yang di ucapkan ayahnya. Namun bukan ucapan melainkan tindakan ayahnya yang membuat Hira sakit hati.
Hasan menggengam kuat bahu Hira dan langsung mengangkatnya untuk di bedirikan. Hira masih dalam keadaan tidur, tersontak kaget atas apa yang ayahnya lakukan. Rasa ngantuk seketika hilang berganti dengan rasa takut jika ayahnya memukul dirinya seperti ibunya.
Ekspektasinya salah. Tidak ada yang terjadi setelahnya, bahkan tidak ada kemarahan yang tergambar di wajah ayahnya.
Di usap pelan oleh Hira bahu bekas genggaman ayahnya. Seketika air matanya jatuh. Sangat sakit, ternyata sangat sakit.
Masari datang melihat Hira. Lagi-lagi anak kecil ini menangis, padahal dia berusaha untuk menjauhkan ibunya yang meledak-ledak darinya.
Masari pun menghampiri Hira, membawanya duduk di tepi ranjang. Hira masih tetap dengan posisi tangan memegang bagian bahu yang sakit. Menuruti arahan uyutnya untuk duduk.
Masari pun menceritakan apa yang terjadi sebelumnya tanpa Hira minta.
"Tadi udah uyut bangunin Hira jam enam, cuman Hira minta banguni sebentar lagi, kan? Jdi uyut tinggal nyapu. Eh, uyut lupa udh lewat jamnya, jadi uyut buru-buru banguni Hira. Gak taunya ibuk datang teriak-teriak nyariin Hira, nanya Hira udh siapan belom? Sarapannya ada di rumah? Uyut takut Hira di marahin atau di pukul ama ibuk, jadi uyut suruh aja ayah yang banguni. Kan, ayah ga kasar kek ibuk. Tapi ... Hira tetep nangis, Uyut gatau mesti gimana. Sekali lagi uyut aja yang banguni. T-tapi Hira harus bangun, ya? Biar ga telat juga piketnya, biar engga di marahin ibuk juga."
"Iya, yut." jawab Hira sesegukan.
Tatapan kosong ke arah jalanan, namun aslinya gadis kecil ini sedang memutar satu peristiwa. Berandai jika saja aku seperti ini tadi, seperti itu tadi, bilang ini tadi mungkin ga akan seperti ini akhirnya. Miris, sekuat apapun berusaha, manusia seperti dirinya tidak akan mampu kembali ke masa lampau untuk memperbaiki satu keadaan agar tidak terjadi hal yang tidak dia diinginkan.
"Hira, besok ibuk udah bisa melahirkan adek bayi." ucap Hasan.
"Adek bayi? Udah boleh keluar dari perut ibuk, ya, Yah?" tanya Hira antusias.
"Iya, Nak. Hira seneng?" tanya Hasan, "jadi kakak-kakak, dong, Hira. Kak Hi ... ra." sambung Hasan tertawa kecil.
"Yeay, hore ...." Hira bersorak senang, mengangkat kedua tangannya ke atas, wajahnya kembali ceria.
Hira sangat menantikan kelahiran bayi di dalam perut ibunya. Padahal dia sudah memiliki seorang adek perempuan bernama Almaaru. Namun dia melihat Aru bukanlah seperti adeknya, tetapi saingannya sendiri. Sebab semua atensi keluarga di rebut olehnya, Hira merasa bahwa kelahiran Aru juga awal mula ibunya berkeras padanya dan awal mula dirinya mendapatkan rasa sakit, baik hati maupun raga.
Kelahiran anak keempat ini bukan kelahiran yang di idam-idamkan oleh pasangan Mawar dan Hasan. Sempat tak sengaja terdengar Hira satu pembicaraan ibu dan ayahnya.
Saat itu Hira ke rumah ingin mengambil makan, tak sengaja mendengar percakapan ibu dan ayahnya."Enggak, Bang. Aku gak mau punya anak lagi. Mau di kasi makan apa mereka nanti?" tanya Mawar tidak terima.
"Anak punya rezekinya masing-masing, Dek. Jadi gak usah takut, gak harus di gugurin juga, bisa bahaya di kau, Dek."
Hasan menggaruk kepalanya frustasi, sementara Mawar terduduk lemas.
Hira pun yang mendengarnya kaget, sekrisis itukah ekonomi mereka sampai tak terima dengan kelahiran anak? Matanya berkaca-kaca, dan akhirnya ia pergi ke rumah Masari dan menangis di kamarnya.
Sejak mendengar itu Hira sering mengelus perut ibunya, hanya sekedar mengecek apakah masih ada bayi di dalamnya, takut-takut apa yang di katakan Mawar benar-benar ia lakukan.
Seiring pergerakan menendang dan menyundul, Hira semakin antusias dan penasaran. Semakin sering dia mengecek perut ibunya saat pulang ke rumah untuk makan. Dia ingin bayi itu lahir dan menjadi temannya, karena sama-sama lahir yang tak di inginkan.
Hira juga teringat hari dimana ketika Mawar sengaja memanggil Arfis dan Hira untuk membicarakan hal penting.
Saat itu kandungan Mawar usia 8 bulan. Terlihat raut sedih tergambar di wajah Mawar, entah apa yang ia pikirkan sampai wajahnya memurung.
"Fis, Ra. Kalo adek bayinya lahir, ibuk kasi ke orang aja ya? Kasian kalo di sni, ga ada yang urus nanti," perkataan Mawar berhasil menarik air mata kedua anaknya keluar.
"Jangan, Buk. Kasian kalo ada saudara kami yang terpencar." cegah Arfis memohon dengan air mata.
"Iya, Buk. Kalo Ibuk capek ngurus adek, nanti Hira bantu. Atau biar Hira yang urus adek bayinya juga ga apa-apa, Buk," Hira terisak, memohon memegang kedua tangan ibunya.
"Buk ... janganlah di kasi orang adeknya,"
"Iya, Buk." sambung Arfis meyakinkan.Hira menangis sejadi-jadinya. Terasa sangat sakit menerima kenyataan betapa kejamnya seorang Ibu seperti Mawar.
Hira teringat perkataan uyutnya saat dia bertanya kenapa ibunya jahat?
"... gak ada orang tua yang gak sayang sama anaknya. Sembilan bulan mengandung, melahirkan dengan bertaruh nyawa, semua itu di lakukan seorang ibu karena rasa sayang kepada anaknya, kalau dia ga sayang kenapa repot-repot harus bertaruh nyawa? ..."
Tapi hari itu dirinya menyaksikan secara nyata bahwa ada seorang yang bergelar Ibu, mengandung sembilan bulan dan melahirkan dengan bertaruh nyawa lantas membuangnya dengan memberikan bayinya pada orang lain.
Mana Ibu yang uyut maksud?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia itu Indah
NonfiksiHira Akshaya, gadis kecil yang selalu mendapat perlakuan abusive dari ibunya, baik verbal maupun fisik, dan selalu merasakan kesenjangan emosional saat berada di dekat ibunya. Selama bertahun-tahun Hira merasakan perlakuan abusive dari ibunya, sehin...